Resensi Novel Tere Liye – PULANG (2015)

 

IMG_20151219_225718

Kali ini, saya akan mengupas satu novel karya Tere Liye berjudul Pulang. Novel akhir tahun, seperti sudah lazim pengarang produktif tersebut menelurkan karya di penghujung tahun. Pada 2014 silam, masih bersama Republika Penerbit, Tere Liye menghadirkan Rindu, resensi novel tersebut bisa kalian baca  di sini, satu postingan blog saya yang sampai detik ini selalu menjadi hits 🙂 Dalam dunia kepenulisan tanah air, nama Tere Liye cukup populer. Selain produktif, Tere Liye memiliki cita rasa tersendiri dalam setiap karyanya. Itu barangkali yang menyedot antusias banyak pembaca.

Kembali ke novel Pulang. Secara umum, novel Pulang bercerita tentang seorang pemuda dari pedalaman Sumatera, orang-orang memanggilnya Bujang. Di usia lima belas tahun, Bujang harus pergi meninggalkan mamak dan bapaknya. Ikut salah seorang saudara angkat bapak Bujang ke kota. Perpisahan yang diawali dengan keterlibatan Bujang dalam perburuan babi hutan. Satu momen, di mana Bujang mulai kehilangan definisi rasa takut dalam hidupnya. Lantas kepergian Bujang dari kampung halamannya menjadi awal perjalan hidupnya yang keras dan berliku. Berpuluh tahun Bujang berkelana, berperan di dunia gelap, berpindah dari satu tempat ke tempat lainnya, bertemu banyak orang yang mempengaruhi sikap dan cara pandangnya dalam hidup, dan menyelesaikan beragam konflik tingkat tinggi yang menjadi keahliannya.

Bujang, si anak lelaki yang sering dipukuli bapaknya jika ketahuan belajar agama, bertransformasi menjadi seorang tukang pukul ‘berkelas’. Darah parewa dari bapak dan kakeknya ia warisi. Bujang, yang memiliki julukan si Babi Hutan, akhirnya menemukan jalan “pulang”. Pulang pada hakikat hidup. Pulang menemui satu pemahaman yang harus dia tebus dengan perjalanan panjang penuh luka.

Ya, novel Pulang bukan novel Tere Liye yang menyentuh. Bukan novel Tere Liye yang membuat dada kalian kembang kembis dan berbunga-bunga, atau membuat mata kalian basah. Pulang salah satu novel Tere Liye yang keras dan beringas. Semacam novel action. Meski Pulang bukan satu-satunya novel Tere Liye dengan bumbu action. Sebut saja Negeri Para Bedebah dan Negeri Di Ujung tanduk. Dua karya Tere Liye yang mematahkan stigma Tere Liye sebagai penulis yang piawai membuat pembacanya menangis.

Beberapa hal yang menarik dari novel Pulang adalah berikut:

  1. Judul

Setahun atau dua tahun terakhir, Tere Liye sedang demen dengan judul novelnya yang simpel. Terlepas apakah judul-judul semacam Rindu, Bumi, Bulan, adalah kemauan pihak lain semisal editor atau boleh jadi desakan pembaca melalui survey judul. Judul yang simpel, yang hanya satu kata, menurut saya punya daya tarik. Meskipun itu relatif. Orang cenderung bertanya-tanya, kira-kira kisah apa di sebuah buku dengan judul Pulang? Kata ‘pulang’ yang familiar itu justru menjadi magnet jika lahir dari penulis populer—terlebih  yang punya pembaca fanatik. Karena tidak mungkin sang penulis akan berkisah tentang tema yang biasa-biasa. Itu praktis menjadi ide marketing. Semakin lihai membuat penasaran, orang-orang makin berkerumun mengejar. Namun, adakalanya judul yang simpel  bisa menjadi jebakan bagi pembaca, karena mereka pasti punya ekspektasi. Tapi ekspektasi yang patah tak sesuai harapan, tidak selamanya menjadi ganjalan hati pembaca. Bahkan bisa jadi pembaca merasa diberi surprise, sehingga ia tetap dapat mengapresiasi karya dari penulis.

Namun, saya pribadi akan merasa keberatan, jika ke depannya Tere Liye masih demen memberi judul novel-novelnya dengan simpel. Karena sejak Bumi lahir, lahir pula Rindu, Bulan, Pulang, dan menurut informasi dari Tere Liye sendiri, Januari 2016 akan keluar buku barunya, judul yang terpakai tetap judul simpel. Jika begitu terus, ke mana lagi bisa menikmati suguhan judul khas Tere Liye. Karena bagaimanapun, judul semacam Senja Bersama Rosie, Daun Yang Jatuh Tak Pernah Membenci Angin memberi kesan tersendiri dari karyanya.

  1. Universal

Bila dicermati, salah satu yang menjadi khas Tere Liye adalah sisi-sisi universal dalam komposisi karyanya. Membaca karya Tere Liye, adalah membaca kehidupan sehari-hari, di mana yang kita temui tidak hanya seseorang dari jenis kita sendiri, sebangsa, sesuku, bahkan seagama. Nyaris di setiap karyanya, Tere Liye menghadirkan tokoh dari beragam latar. Ada etnis China, sebut saja Koh Acan dalam Hafalan Shalat Delisa, Mei dalam Kau Aku dan Sepucuk Angpau Merah, Cie Hui dalam Bidadari-Bidadari Surga, Bundo Upe dalam Rindu, dan Tauke Muda dalam novel Pulang. Adapula tokoh bule, dapat kita dapati diantaranya Kapten Phillips dalam novel Rindu, Gosky dalam Bidadari-Bidadari Surga, Dr. Shopie dalam Hafalan Shalat Delisa, Mitchell dalam Sunset Bersama Rosie, dan Frans dalam novel Pulang. Yang tidak biasa, di novel Pulang, Tere menghadirkan etnis Arab dan India—yang sebelumnya tidak pernah dihadirkan 😀

Kehadiran beragam tokoh dengan latar berbeda-beda, menjadi nilai lebih bagi novel Tere Liye—karena tidak banyak penulis yang melakukannya. Tere Liye seolah berpesan bahwa dunia ini memiliki banyak perbedaan, dan perbedaan itu tidaklah lantas membuat kita kehilangan nilai humanisme tanpa melepas  prinsip-prinsip. Lihat saja bagaimana Tere menulis tentang interaksi Gurutta dengan kapten Phillips, juga Tuanku Imam dengan Tauke Muda, dan Delisa dengan Koh Acan. Semua itu gambaran yang cukup ideal tentang cermin sosial di keseharian manusia. Bagaimana sikap saling menghormati dan tolong menolong adalah kunci keharmonisan hidup bermasyarakat.

  1. Tema

Dalam setiap novelnya, Tere Liye selalu menyajikan tema atau bingkai yang khas untuk menjahit ceritanya dan tidak akan ditemukan dalam novel lain miliknya. Tema Tsunami dalam HSD, Bom Bali dalam SBR, Perjalanan Haji dalam Rindu, dan lain sebagainya. Sementara dalam novel Pulang, Tere menyajikan Shadow Economy sebagai tema sekaligus isu yang menjadi salah satu bilah membingkai alur cerita dalam Pulang. Selain Shadow Economy, Tere Liye juga mengangkat isu “suara adzan yang menganggu” dan “makan daging babi, anjing, serta minum khamr”. Isu yang rasa-rasanya sangat sensitif. Meski dituturkan secara eksplisit, dua isu itu tidak akan menganggu kenyamanan menikmati alur cerita dalam Pulang.

  1. Teknik

Teknik menulis Tere Liye seperti biasa, mengalir, dan memaksa pembaca hanyut dalam arus. Saya tidak paham teknik tulis  menulis cerita, tapi satu hal yang biasa dilakukan oleh Tere Liye adalah membuat semacam “pancingan”, di mana pembaca dibikin penasaran dengan satu dua “informasi”, sehingga pembaca memiliki bahan bakar untuk terus membaca hingga menemukan jawaban dari informasi yang sudah disampaikan oleh pengarang.

Lantas bagaimana akhirnya Tauke Besar mempercayaiku? Itu terjadi sehari sebelum keluarga Tong pindah ke Ibu Kota. Sebuah peristiwa besar dan aku terseret dalam pusarannya, yang ternyata berpuluh tahun kemudian, peristiwa itu memiliki kelindan dengan masa lalu dan masa depan.

Selain itu, teknik maju-mundur dalam Pulang tidak bakal serumit novel lain dengan gaya penceritaan yang sama namun lebih rumit, sebut saja Rembulan Tenggelam Di Wajahmu. Bagaimanapun, menyederhanakan teknik merupakan pilihan bijak, karena pembaca yang menggemari karya Tere Liye tentunya sangat kompleks. Kemampuan melahap sebuah karya berbeda satu dengan lainnya karena pengaruhi teknik. Dalam Pulang, kalian yang sedang berkenalan dengan baca membaca tidak perlu mengrenyitkan dahi. Disini letak kelebihannya, dalam Pulang Tere Liye hendak merangkul semua kelas pembaca.

  1. Cover dan Komen

Dalam resensi  novel Rindu, saya menyinggung tentang cover buku yang tidak begitu menarik. Juga menyinggung kebiasaan Tere Liye melibatkan pembacanya untuk memilih kover buku. Dan Pulang hadir dengan kover yang menarik—lahir dari survey pembaca, sangat mewakili isi novel, ditambah ada komentar dari pembaca terpilih, menjadikan Pulang sebagai salah satu novel yang terasa betul “kekeluargaannya”, tidak banyak penulis yang melibatkan pembaca dalam pemilihan kover dan berbesar hati meminta komentar mereka terbubuh di buku.

Itulah lima poin, yang menurut saya menarik dari Pulang. Secara umum, Pulang merupakan karya yang menunjukkan kepiawain penulisnya dalam meramu cerita dan mengetengahkan konflik. Meski begitu, ada beberapa catatan, terkait Pulang yang memang membuat saya pribadi merasa kurang menikmati Pulang secara utuh.

  1. Menggantung

Menurut saya, ada beberapa bagian dalam novel yang menggantung di benak, dan akhirnya menjadi pertanyaan, namun sayangnya, saya belum dapat mencari jawaban dari pertanyaan tersebut.

Pertama – tentang meledaknya kamar Tauke Muda tapi seseorang yang hendak membunuhnya masih selamat, padahal, yang tergambar di benak, “seharusnya” dia tewas dengan kekuatan ledakan sedahsyat itu. Setidaknya digambarkan betapa orang yang hendak membunuh Tauke Muda terluka parah akibat ledakan itu. Tapi di potongan cerita selanjutnya, orang yang hendak membunuh Tauke Muda tiba-tiba dimunculkan tanpa diberi gambaran bagimana pembaca bisa mengetahui kondisinya saat itu hingga dia bisa dihadirkan lagi untuk menghadapi Bujang. Sejujurnya saya kaget, saat orang yang hendak membunuh Tauke Muda tiba-tiba muncul lagi dengan salam khasnya, karena terakhir yang saya ingat, dia berada di ruangan yang hancur lebur.

Kedua – alat pemindai dari keluarga Tong yang dicuri dan akhirnya dititipkan kepada salah seorang kepercayaan keluarga Tong, seperti cuma tempelan untuk mengisi konflik, karena sejak awal saya penasaran, kira-kira benda berharga itu “mau diapakan”, tapi sampai akhir cerita, tidak disampaikan keistimewaan alat pemindai yang diperebutkan secara serius itu. Malahan, kehadiran alat pemindai mengingatkan saya dengan alat pemindai milik Tadashi di film Big Hero 6 😀

  1. Detil

Satu hal yang saya suka dari Tere Liye adalah detil yang dia gambarkan dalam novel-novelnya, terutama berkaitan setting. Tapi, dalam Pulang yang punya banyak setting—Hongkong, Amerika, Jepang, Filipina, Tere Liye tidak menyajikan kepiawaaian itu. Mungkin memang demikian sedianya untuk menyesuaikan  kebutuhan cerita, sehingga porsi ke arah sana tidak terlalu dieksplor. Namun satu pertanyaan saya adalah, apakah karena setting yang terhitung banyak Tere Liye jadi tidak fokus menggambarkan secara “nyata” tempat-tempat yang dia pilih?

  1. Tokoh

Membaca Pulang dan mengenali satu per satu tokoh-tokohnya, saya seolah diingatkan dengan tokoh-tokoh serupa di novel Tere Liye lainnya. Entah, apakah hanya saya yang merasakan, atau pembaca lain juga mengalami hal serupa. Tokoh-tokoh dalam novel-novel Tere Liye memang tidak ada yang sama, namun pembawaan tokoh-tokoh di novelnya seperti memiliki ruh yang sama. Katakanlah dalam Pulang ada Tuanku Imam Muda, saat menyelami karakter tersebut, saya jadi teringat Pak Tua atau Gurutta. Ingat begitu saja secara alami. Pun saat menyelami karakter Bujang, ada ingatan tentang Re. Saat Bujang berkawan baik dengan Basyir dan mereka menghabiskan hari-hari di mess, teringatlah saya dengan persahabatan Borno dengan Andy.

Meski bukan persoalan serius, tapi tetap saja ada ketidaknyamanan saat menyelami alur cerita dalam novel karena ingatan jadi loncat-loncat ke novel lain 😀

  1. Real

Adakalanya saya membaca novel—fiksi—yakin 100 persen itu fiksi, tapi bisa menikmati setiap helai ceritanya, tanpa perlu menolak satu-dua poin yang tidak bisa diterima benak. Dalam artian, meski saya membaca cerita tidak nyata, saya tidak berontak dan menerima apapun konten dan elemen cerita. Sejauh pengalaman membaca buku-buku Tere Liye, tidak ada buku atau cerita yang memunculkan “penolakan”. Namun saat mengkhatamkan Pulang, muncul sedikit “penolakan” dikarenakan dua hal berikut:

Pertama – Bujang merupakan sosok yang sangat sempurna. Serba bisa—menguasai menguasai pedang, shuriken, menembak, negoisasi, jenius, dicintai banyak orang, pemberani dsb. Bagi saya, sosok dengan segala kemampuan semacam itu rasanya agak berlebihan. Meski dalam cerita, Bujang memang sengaja dibentuk oleh Tauke Muda agar menjadi anggota keluarga yang “dapat diandalkan”. Itu hanya pandangan saya sebagai pembaca, tapi bagi pembaca lain bolehjadi sebaliknya, masih wajar, dan tidak ada persoalan. Hal yang sama terjadi saat novel Ayat-Ayat Cinta memperkenalkan Fahri. Sosok Fahri sempat menjadi perbincangan hangat antara pembaca yang menganggapnya “terlalu” sempurna dan pembaca yang menilai sosok semacam Fahri “benar-benar” ada di dunia nyata.

Kedua – saya mengimajinasikan adegan-adegan film science fiction saat membaca Pulang. Tidak masalah sepanjang saya tidak menganggapnya terjadi di Ibu Kota. Karena, saat adegan penyerangan di Grand Lisabon misalnya, saya sangat menikmati. Tapi, saat ricuh pertempuran terjadi di Ibu Kota, dan diberitahukan bahwa Rumah Keluarga Besar Tong dilengkapi “teknologi canggih” saya merasa kurang dapat menikmati, entahlah, mungkin karena efek refrensi menonton film berbau sciene fiction adalah film-film luar. Dan begitu Tere Liye mencoba mengaplikasikan adegan-adegan “canggih” di Ibu Kota—yang terbayang adalah Jakarta—munculah itu “penolakan”, terutama saat terjadi sesuatu yang sangat “canggih” di detik terakhir Tauke Muda hendak dibunuh oleh pengkhianat. Aduh, saya sungguh keberatan dengan “kenyataan” itu/

  1. Ending

Bicara ending, Pulang nampaknya cukup dibuat sederhana. Dan mungkin bisa dibilang menyebalkan. Bagi kalian yang pernah membaca Daun Yang Jatuh Tak Pernah Membenci Angin, pasti tahu bagaimana muncul sebal saat tiba di akhir cerita. Tapi, sebal di novel DYJTPMA berbeda dengan Pulang, sebab usai membaca Pulang, saya sebal dan ingin mendapatkan ending yang melegakan—artinya ada sesuatu yang belum tuntas di perasaan saya setelah tenggelam di 400 halaman. Sementara usai membaca DYJTPMA saya sebal karena ada sesuatu yang masih “disembunyikan” oleh Tere Liye, tentunya selain kenyataan pahit yang terjadi di akhir novel tersebut. Nah, sama-sama sebal, tapi beda kan? 😀

Itulah lima hal yang menjadi catatan “lain” seputar Pulang. Tentunya, lima hal di atas  bersifat subjektif. Sebagaimana yang kita pahami bersama, dalam mengapresiasi karya, satu dengan lainnya tidak pernah punya pandangan sama. Meski pada kesimpulannya, sebuah karya tetaplah memiliki dua sisi—Satu hal pasti yang tidak lantas membuat karya menjadi tidak istimewa. Karena bagi saya pribadi, karya yang istimewa, adalah karya yang membuat kita mampu menemukan dua sisi di dalamnya, bukan untuk diperbandingkan, tapi untuk direnungkan dan dijadikan pelajaran.

Pulang, menjadi novel akhir tahun Tere Liye yang semakin mewarnai jagat perbukuan tanah air dengan beragam tema menarik. Cocok menambah koleksi perpustakaan kalian. Aman dibaca oleh siapapun. Novel dengan judul yang pendek, tapi setelah membacanya kita diajak berpikir panjang. Selamat untuk Tere Liye dan Penerbit Republika, karena sebagaimana pendahulunya, Rindu yang mendapat sambutan menggembirakan dari pecinta buku, di penghujung tahun ini, nampaknya Pulang juga tidak kalah mendapat sambutan meriah. Buku yang saya beli lantas saya resensi ini, adalah cetakan ke – VIII di bulan ketiga terbit.

 

 

Judul: Pulang

Editor: Triana Rahmawati

Tahun Terbit: 2015

Penerbit: Republika Penerbit

Tebal: 400 halaman

 

 

 

 

Tinggalkan komentar