Pak Imam

Malang nian nasib lelaki itu. Setelah mengimami shalat berjama’ah, dijemput orang asing. Dibawa pergi. Selang beberapa hari dia pulang. Duh, tak sekedar pulang ke kampung halamannya, tapi juga pulang ke sana. Kabar yang mengejutkan. Kabar yang melahirkan banyak pertanyaan. Kabar yang kemudian menjadi perbincangan banyak orang. Lelaki itu, tak kedengaran namanya saat hidup. Dan tiba-tiba menjadi terkenal ke seantero negeri, setelah kematian menghampiri.

Tak perlu berdebat siapa sebenarnya lelaki itu. Apakah dia memang benar membahayakan. Apakah dia selayaknya harus dienyahkan–demi menjaga keamanan negeri. Karena membincangi itu tak akan pernah bisa menyatukan pandangan. Apalagi banyak diantara kita yang–kenal secara personal saja tidak–lantas yakin seyakin-yakinnya menyematkan stigma, dan tak menghiraukan kesoktahuan yang memalukan. Bagaimana tidak memalukan, saat sikap kita disetir oleh praduga, prasangka, emosi, padahal sebagai manusia yang mengaku modern, berpandangan sempit adalah aib.

Sisi menarik dari kasus ini adalah keluarga si lelaki malang. Istrinya, juga kelima anaknya.

Istri lelaki itu juga tidak begitu dikenal namanya, tapi saat suaminya meninggal, ia diperbincangi. Namanya terangkat. Menjadi trending topik. Oya, istri lelaki malang itu seorang guru. Mengelola sekolah kanak-kanak. Sekolah sederhana yang dia dirikan dengan cinta. Tak tahu apa rasanya punya suami yang kematiannya menjadi teka-teki. Tak pernah terbayangkan, dia harus berurusan dengan banyak orang, berbenturan dengan lembaga negara, belum lagi diburu pegiat media, difoto-foto cekrak cekrek yang bolehjadi menyebalkan sekali. Hfff, semuanya terasa seperti mimpi. Oh, mimpi yang entahlah harus disebut mimpi baik apa mimpi buruk, pastinya semua terasa asing dan sangat aneh. Rumahnya yang nyempil di desa tiba-tiba ramai kunjungan. “kenalan” makin banyak. Seperti ada “sesuatu” yang tengah berproses. Seperti ada tangan-tangan yang tengah bekerja. Semua itu datang laksana angin sepoi yang tak diundang. Tiupannya menenangkan, mengusap luka yang tergores dalam. Jika keharuan menyelinap di hatinya bersamaan dengan syukur, itu tidak lain bahwa perempuan itu merasa amat besar sayang Allah kepadanya.

Tanyakan kepadanya, bagaimana rasanya menjadi pelakon takdir yang rumit. Kehilangan lelaki yang ia cintai tak cukup mengenalkannya pada rasa perih tak terperi. Fitnah yang hembusannya sampai di telinga perempuan itu, ancaman yang mengetuk keterjagaannya, menjadi garam yang harus ditumpahkan di atas luka hatinya. Perempuan itu bukan malaikat, ia tetap merintih sakit, menangis meski sekuat daya dia menahan desakan air matanya biar tak terdera, tapi ia ingat satu hal. KEHORMATAN. Duhai, apalagi yang semestinya digigit erat, selain mempertahankan itu sampai ujung penghabisan.

Maka, ia tepis semua gundahnya dengan semangat perempuan berhati baja. Ia perempuan, namun ucapan lembutnya terdengar seperti halilintar. Tekanan demi tekanan ia lawan, ia bakar segala hal yang bisa membuatnya lupa bahwa dunia ini begitu kerdil dan tak berarti. Ia meneriakkan kegigihan dan ketegasan bukan dengan suara lantang, melainkan ucapan lirih dari balik kain yang menutup sebagain wajahnya, bahwa baginya, Allah adalah segalanya.

“Bumi Allah itu luas” kalimat itu seperti peluru yang membangunkan kantuk siapapun. Menghujam hati siapapun. Menggema dan menggetarkan. Orang-orang yang tak mengenalnya, tak pernah bertemu dengannya, bagimana bisa tersadar dengan ucapan lirih itu. Ada malu pada diri kami. Bisajadi, jika takdir yang sama menimpa kami, kami akan kesulitan merangkai kata-kata itu. Tak terpikirkan akan mengucapkannya. Ah, betapa kerdil iman ini.

KIni lihatlah, siapa saja, dari golongan mana saja, berduyun-duyun datang dengan nurani seputih cahaya. Tentara-tentara Ilahi berwujud sosok-sosok penuh simpati, merasa terketuk hati, tanpa didahului sebab-musabab yang masuk akal. Dunia kita seperti tersihir, dan membuat sebagian orang berpikir, “Kenapa banyak orang simpati dengan istri lelaki “berbahaya” itu?” bagaimana bisa gerakan kejahatan melahirkan arus dukungan yang begitu ruah melimpah? Bukannya fenomena itu tidak boleh terjadi? Ini ancaman! Apakah orang-orang itu sudah tidak waras?

Duhai, kenapa harus pertanyaan-pertanyaan itu yang terbenak? Kenapa tak berdenging tanya tentang hati-hati yang tergerak itu, padahal mereka tak begitu tahu “siapa sebenarnya” orang yang mereka berikan doa dan dukungan. SIAPA YANG MENGGERAKKAN HATI DALAM SATU DIMENSI, SATU RUANG DAN WAKTU. Apakah mereka pikir Tuhan sedang bersendagurau? Apa mereka tidak pernah mengupas makna dari setiap peristiwa? Jangan-jangan selama ini segala sesuatunya sudah kita pisahkan jauh dari urusan campur tangan Tuhan.

Sungguh, ada hal berbeda dari peristiwa ini. Ini bukan kali pertama kasus serupa. Tapi entah kenapa kali ini banyak orang yang membuka mata. Mereka menilai bukan lagi dari tulisan di koran atau liputan di televisi. Mereka menilai dari nurani. Kematian lelaki malang yang diculik usai mengimami shalat, dan ketegasan seorang istri mempertahankan kehormatan, meredam carut-marut pemberitaan tak berimbang yang mungkin berusaha mewarnai cara pandang orang-orang dalam kasus ini. Eh, siapapun boleh membuat makar, konspirasi. Tapi jauh di atas segala-galanya, ada makar yang tak bisa ditandingi, hatta jika seluruh penduduk bumi bersatu padu, makar yang mereka ciptakan tak ubahnya debu.

Dear lelaki malang yang kau tinggalkan seorang istri sekuat baja dan lima anak-anak penyejuk mata, aku tidak mengenalmu. Tapi aku tahu kau punya peran yang sangat konkrit di masyarakat. Mengelola masjid, menjadi imam shalat, dan menjadi guru yang membukakan gerbang ilmu. Itu terdengar sangat menginspirasi, karena setiap kita, hendaknya “bekerja” untuk peradaban. Andil sekecil apa, menjadi cahaya yang mengusir gulita. Biarlah mereka menuduhmu macam-macam, karena pandangan Tuhan adalah segala-galanya. Apalah arti jika semua orang membenci, sedangkan kau lihat bahwa banyak kebaikan dan kemuliaan yang tak lepas dari kebencian orang-orang, ingatkah dirimu, wahai Pak Imam, bahwa kita hidup di zaman yang sedemikian kacau. Zaman tatkala kebaikan memiliki banyak musuh, dan kekejian memelihara banyak simpatisan. Aku percaya kau orang baik. Orang baik–secara alami–akan diperlakukan baik pula oleh orang-orang. Bagaimana bisa orang-orang begitu baik kepadamu padahal kau sudah tidak ada? Bagaiman bisa banyak tangan terjulur untukmu meski mereka bukan temanmu, bukan kelompokmu, bukan sepaham denganmu?

Selamat jalan Pak Imam. Awalnya kau kuanggap malang, karena berpamitan dari dunia dengan cara yang tak semestinya. Tapi kini, saat kematianmu melahirkan lembaran kisah panjang yang penuh haru, penuh keajaiban, kau bukan lagi lelaki malang itu. Kau lelaki beruntung. Sangat beruntung. Lihatlah bahwa cahaya itu muncul ditengah-tengah gelap malam. Tak hanya satu dua cahaya, tapi tak terkira. Semoga engkau dimasukkan golongan orang-orang yang shaleh. Diampuni semua dosamu. Diterima semua amal baikmu.
Dear istri Pak Imam. Perjalanan masih panjang. Dan kini kau lihat, ada banyak sekali yang menemani perjalananmu. Mereka, orang-orang yang bukan keluargamu, bukan teman akrabmu, ikut merasakan beban di pundakmu. Dan bersikukuh mengurai beban itu satu-satu. Cuma ridha Allah yang membuat kaki mereka melangkah. Juga wujud kepedulian sesama anak bangsa, yang merindukan budaya saling mengayomi, tanpa memandang apa dan siapa. Ada lima permata yang harus kaujaga sepanjang masa hingga kelak mereka dewasa. Aku percaya, kau bisa menularkan keteguhan, sifat sabar, dan gigih menjaga kehormatan pada jiwa mereka. Kau telah mengajarkan arti melewati jalan penuh duri dan menembus badai topan, semua itu bukan apa-apa, semua itu wujud cinta DIA.

Dear malaikat-malaikat kecil Pak Imam. Duniamu indah, tertawalah. Kembalikan keceriaan itu. Tak mengapa kalian bersedih, tapi sedih itu tak boleh membuat kalian lupa, bahwa saat Allah mengambil satu sosok yang kalian cinta, Allah telah menggantinya dengan cinta lain yang teramat banyak. Ayo honey, jangan takut bertemu orang-orang, mereka sahabatmu, mereka yang menemanimu, juga ibumu, melewati cerita ini. Cerita yang akan tertutur indah dari lisan ibumu, membuat kalian memahami hikmah sebuah ujian. Dan membuat kalian bangga, bahwa kalian punya ayah yang hebat, yang kematiannya menjadi jalan orang-orang membuka mata dan bersuara tentang keadilan. Itu keren, bukan? Baiklah, kalian tetap akan cemberut, merengek bilang “Tapi nggak bisa lagi ketemu Abi”, hei bukankah kalian sudah paham, bahwa perpisahan di dunia ini adalah jembatan pertemuan abadi di hari nanti? Bukankah kalian yakin, ayah kalian baik dan akan ditempatkan Allah bersama orang-orang baik? Suatu saat, kalian akan mengerti semuanya, saat ini mungkin masih kalian raba, masih kalian eja, tak mengapa selagi kalian memulangkan semua harap pada DIA. Percayalah, kalian adalah malaikat-malaikat pilihan. Sebaya kalian tak tentu mampu menjalani peran seperti kalian. Tapi kalian hebat. Kalian bisa melalui ini meski dengan tangisan, dengan ketakutan, dengan perasaan yang orang orang dewasa pun tak mampu menjelaskannya. Tetap semangat menggapai cita, sayang. Doakan semua orang yang ingin memeluk kalian dengan semua dukungan dan cinta. Kelak, jadilah orang istimewa, ssstt orang istimewa sejak masa kanak-kanak biasanya terbiasa dengan jalan hidup yang berliku-liku, yang keras, karena semua itu mengajarimu, menempamu.

Seminggu Lalu

IMG_20160407_171637_HDR

Seperti belum reda hujan duka yang basahnya menjadi genangan kenangan di tiap detik. Seminggu yang lalu, kau berpamit. Tanpa mengucap sepatah kata. Bahkan tanpa memberitahu kami, soal “rencana” kepergian itu. Terlalu pahit memang, melepasmu dalam gelisah tiga hari tiga malam. Hingga pada puncaknya, kami tak kuasa melepas tangis itu, tangis yang sekian lama disembunyikan. Tangis yang selama ini hilang dari ingatan. Apakah kau memahaminya? Apakah kau menyaksikannya?

Malam yang sama dengan sekarang, seminggu lalu. Aku tersentak sesaat setelah bisa memejamkan mata. Abah menepuk pundak, lalu mengatakan sesuatu yang kudengar seperti hentakan halilintar. Kata Abah kau pamit. Malam itu. Aku pikir itu mimpi tidak lucu yang sangat menganggu. Tapi saat kudengar sendiri Abah mulai terisak, dan wajahnya menyatu dengan lantai kamarku. Aku baru memahami, satu mimpi buruk menampakkan seringainya.

Aku seperti linglung, ke kamar mandi, membasuh muka, dan mondar-mandir seperti orang gila. Aku tak tahu harus bagaimana. Aku ingin meyakinkan bahwa semua yang kulihat adalah alam mimpi. Namun lagi-lagi isakan Abah menamparku, membuat aku semakin nyata memandang seringai itu, seringai mimpi buruk yang tak hanya menakutkan, namun juga menabuhkan gendang kepiluan. Dada ini sesak. Badan ini gemetar seolah dikepung ratusan tombak. Aku melaju kencang ke jalan. Di atas kendaraan, di bawah langit malam yang gulita, di sepanjang jalan kota dengan gemerlap lampunya. Aku menangis, suaranya jelek sekali. Di benakku kulihat dirimu tengah berbaring, napasmu tersenggal-senggal, sementara alat-alat yang mengeroyok tubuhmu diam saja, membisu seolah tak mau tahu. Begitulah, kali terakhir aku merekam bagaimana dirimu harus berjuang melawan sakit itu, apakah saat itu kau sempat berpikir untuk menjadi pemenang? Bukan mengalahkan kesakitan yang dua hari sebelumnya kaubilang sungguh tak tertahankan. Tapi mengalahkan cahaya kematian yang akan meringkusmu. Ah, itu memang pertarungan sulit. Pertarungan paling sulit dari sekian pertarungan yang ada dalam buku kehidupan. Karena mengalahkan takdir adalah salah satu mimpi dari daftar mimpi yang tak dapat tercapai oleh kita, anak manusia.

IMG_20160408_025436_HDR.jpg

Memasuki gedung itu, seperti melangkah ke lorong waktu, di mana seluruh kenangan tersiar di setiap sudut. Di dinding bangsal yang putih. Di tiang-tiang bangunan yang dingin. Dan di sunyi malam yang berdenting. Setengah berlari aku menelusuri bangunan itu, seraya membenak, apakah malaikat juga melewati jalan yang sama seperti yang aku lewati ini, lantas membawamu pergi ke tempat jauh nun di sana. Yang tak pernah kutemui di peta. Pertanyaan yang menggantung itu akhirnya lepas dan terjatuh, pecah bersama tangis, tepat di saat dua kakiku merasakan dingin lantai ICU, dan kusaksikan tubuhmu kaku, sementara wanita yang paling merasa kehilangan masih terus mendekapmu. Mengajakmu bicara apa saja. Dan mencoba meyakinkan pada dirinya, bahwa semua ini hanya mimpi. Mimpi yang sebentar. Yang besok segera hilang seiring adzan subuh berkumandang.

Tak ada kata-kata, dan kata-kata seperti tak pernah ada. Aku meneruskan tangis yang tersendat. Memeluk perempuan yang “tega” kautinggalkan. Sejauh mungkin menguatkan. Berguncang tubuhku, terisak menumpahkan semua sesak. Detak waktu seperti membeku. Menjadi sebait puisi yang dibacakan dengan sangat pelan, dan penuh perasaan. Terdengar seperti musik pengiring kepergian, musik pengiring kehilangan, musik pengiring melepaskan.

***

Kau seseorang yang saleh, berbudi, dan dicintai. Apakah kau lihat pagi hingga siang itu, banyak sekali yang datang menengokmu, meninggalkan doa-doa terbaik di saku jiwamu. Dan melepasmu dengan butir air mata yang tak dapat ditahan lajunya. Apakah kau dapat merasakan betapa banyak yang kehilangan, merasa kau terlalu cepat pulang, dan bertanya-tanya apa maksud Tuhan menjemputmu di saat kau masih sangat diperlukan. Apakah kau mendengar suara hati murid-muridmu tentang guru kesayangan mereka yang mulai esok lusa tak dapat mereka kecup tangannya dan mereka simak nasehat-nasehatnya? Apakah kau menyimak sajak rindu dari istrimu yang kehilangan satu sayapnya hingga entah masih mampukah untuk terbang dan mengenal apa itu kebahagiaan. Apakah kau menangkap wajah-wajah yang berusaha tersenyum sementara mereka ingin sekali menyepi dan melepaskan tangis yang mulai mendanau di pelupuk mata. Apakah kau mencium aroma lara dari kawan-kawan seperjuanganmu, sementara selama ini kau wewangian yang membuat mereka menari gembira di tiap-tiap jeda.

IMG_20160408_140236_HDR.jpg

Selamat jalan, begitulah selama ini kami belajar mengucapkannya. Meski itu bukan lantas membuat semua bayangmu lenyap. Justru, sesaat setelah itu semua berakhir, kehadiranmu semakin menghujam di sini, di hati, di tiap sudut jiwa. Tapi tak mengapa, karena ia akan selalu terasa indah, terbungkus dalam doa-doa yang megah. Kami memang belum memahami dengan sempurna, hikmah dari berpamitmu yang tiba-tiba. Kami hanya percaya, Allah menjemputmu terlebih dulu karena Dia sangat sayang kepadamu. Sayang yang jika disatukan rasa yang sama dari kami yang kautinggalkan ini, sekali-kali tak akan pernah tertandingi. Sesungguhnya kau adalah milik-Nya. Sementara pada kami, Dia meminjami. Peminjaman yang selayaknya kami syukuri. Mengenalmu, menjadi bagian darimu, seumpama aksara yang merangkai sebuah puisi. Biar kelak Tuhan yang membacanya, menjadi senandung yang mengantar pertemuan kita di Surga. Semoga.

***

Untuk kakak Ipar kami tercinta—Wahyu Purwanto, semoga kau ditempatkan bersama para salihin dan syuhada. Aamin.

@kamarboedjang 14 April 2016 / 11:14 PM