Harapan

Setelah hatimu sedikit ngilu karna terpisah oleh kesempatan itu, kau masih bisa tersenyum mengingat satu episode. Kau dan dia bersitatap, meski sesaat, ah, macam2 tafsiran mekar di pikiran. Salah satunya, kau menganggapnya sebuah isyarat sederhana, bahwa mungkin saja di kesempatan lain kau diizinkan lagi berjumpa.

Aku dan Online Shop (Bukan Cerpen)

Saya tidak tahu, tulisan ini masuk kategori “bercerita” tanpa diminta atau kategori “Modus Promosi”

Semua terserah pada kalian, mau meneruskan membaca setelah saya awali dengan thread di atas, atau menahan diri sejenak untuk tidak beranjak dari
tulisan ini, aha, terimakasih saya ucapkan, atas pilihan kalian yang sama-sama menguntungkan

Dari judul postingan, saya sudah ketahuan akan ngobrolin apa kan? Ya, online shop. biasa disingkat olshop, atau OS, atau apalah sayatidak terlalu mudeng.
Model bisnis yang menjadi tren sejak era internet memperkenalkan beragam sosial media. Bisnis tersebut makin menggeliat–diluar imbas sosial
media–saat era smartphone mulai menabuhkan genderangnya. Orang tidak perlu lagi pake leptop atau komputer untuk menjual barang, benda kecil tipis
bernama SP mulai bisa diandalkan.

Baik berjualan maupun transaksi, bisnis online perlahan menjadi gaya hidup. Orang bisajadi bangga beli barang online, meski itu lebih menguras isi
kantong. Ya, karena pembeli tidak cukup merogoh kocek harga orderan, kecuali barangnya bisa sampai di tangan di antar burung merpati. Seolah sudah
menganggapnya lazim, beli online dengan menanggung sediri ongkos kirimnya tidak lagi jadi hal yang diperhitungkan. Ada fenomena aneh lainnya, barang
online yang lebih mahal dari barang yang dijual offline, padahal barang tersebut sama, bisa membuat kustomer lebih percaya diri bila dibeli dengan
transaksi online. Sebagai contoh, Tile bangga banget beli kaos my trip my adventur di olx seharga 100.000 (belum kehitung ongkir), padahal di pasar baju
dekat rumahnya, kaos yang sama juga tersedia, cuma 50.000 perak lagi IDR-nya. Fenomena kayak gini mungkin menarik untuk diteliti. Tapi saya, dalam
postingan kali ini, tak hendak membicarakan itu. Tema-tema berat yang apalah-apalah kan memang bukan kelas saya yang suka nulis suka-suka hati gua.

My dear pembaca, saya cuma ingin cerita, kalau fenomena jualan online ternyata juga menghipnotis saya. Masalah hipnotis tentu sudah biasa dibahas, tapi
poinnya ada pada saya yang, aduh tidak punya bakat jualan. Lalu nekat nyebur ke dunia dagang. Urusan jual menjual sama sekali bukan makanan saya.
malah cenderung saya hindari. Eh, di rumah kan ada warung klontong. Alhamdulillah cukup rame, tapi kalau ada pembeli, saya suka ngumpet. pura-pura
tidak dengar, cuek babar blas, entahlah, malas banget ketemu pembeli, tapi malasnya beralasan. Salah satunya adalah, bahwa saya tidak mahir hitung-
hitungan, saya juga tidak hapal dengan baik harga-harga barang di warung, alhasil, kalau saya yang kejatah melayani pembeli, sering saya mondar-mandir
ke belakang bertanya harga-harga sama ibu saya. Alasan lain, sayaa punya pengalamaan buruk, memalukan, dan naif sekali saat melayani pembeli. Adalah
saat itu, si pembeli beli beragam jenis dagangan di warung, dan tidak semua harga adalah harga pas, ada sebagian yang kalau dihitung manual pakai otak,
cukup mempertaruhkan kualitas matematika saya yang rapuh…hiks..maka tibalah saat saya harus menghitung satu-satu dan memasukkan barang ke
dalam tas plastik. Eng ing eng, saya tiba-tiba jadi paraniod, mikir lama untuk mengkalkulasi harga satu dengan lainnya, eh mana saat itu ada pengunjung
lain yang ngantri, sementara saya melayani sendiri, dan tanpa saya sadari, si pembeli malah yang menghitungkan. Itu bukan berarti melegakan saya,
melainkan seperti menelanjangi kehormatan saya, hiks.

Pada intinya, saya dan dunia jual menjual tidak berjodoh. Cerita di atas mungkin saksinya. Tapi siapa yan tahu, dengan apa yang terjadi di hari mendatang.

Sekitar pertengahan 2015, saya dibuat galau. Hape saya–sony erricson x peria–sudah menunjukkan tanda-tanda pensiun. HP yang dulu punya layar
paling besar, kini jadi yang terkecil. Saya setia memakainya bertahun-tahun, dari 2011 sampai 2015. Saya memang bukan tipikal suka ganti-ganti HP,
maka saat banyak rekan yang udah punya HP terbaru, saya cuma tersenyum kecil. Gak tertarik tuh. Toh, HP bagus-bagus paling pol buat SMS an, nelfon,
sama internet. Seiring waktu, di kantor tempat saya ngajar, rekan-rekan mulai punya kecenderungan ngonline. Mulainya malah dari orang-orang yang
belum punya masa kerja setahun. Awalnya saya belum tertarik, maklum, saya masih phobia dengan urusan jual beli. Tapi lama-lama, saya melihat
“keasyikan” menggeluti bisnis online. Entah, keasyikan itu tidak dapat dideskrepsi. Mungkin sekedar kesan dan tangkapan saya melihat teman-teman
yang sudah dulu ngonline. Nah, timbulah hasrat dalam hati untuk ikut menggeluti. Tapi tekad itu redup, seiring saya tidak dapat memaksimalkan apa yang
hendak saya bangun. Kenapa tidak maksimal? Karena “senjata” saya kurang bisa support. Tahukan senjata apa itu. HP sodara-sodara. HP.

HP jadul saya punya memori kecil, disamping juga layar kecil. Spesifikasinya juga udah borok banget untuk standar tahun 2015, buat BBM ga bisa, buat
upload gambar lelet. Padahal konon katanya, bisnis online tidak lepas dari adanya BBM. Saya lalu berpikir, kalau tekad saya mau diteruskan, saya harus
realistis. Singkat cerita, saya beli HP baru. Sesuatu yang tidak terpikirkan, karena saya tipikal orang yang tidak akan ganti HP sampai HP itu berhenti
bernafas. Bagi saya, beli HP baru itu seperti memutuskan menikah. Penuh pertimbangan. Hati kecil saya sebagian tidak menyambut, sebagian lainnya
menyambut. Tapi setelah kontemplasi panjang saya membuahkan hasil, saya bisa lega dan tidak merasa “berdosa” lagi membeli HP baru, karena motifnya
jelas. UNTUK BELAJAR JUALAN. Tidak ada tujuan ingin pamer, nyaingin HP teman, atau ngikut arus. Sejak membeli HP baru, Xiaomi redmi 2–yang selisih
harga dengan Si Shakira cuma 200.000 dalam rentang 4 tahun, saya terus-terusan mendengungkan niat awal saya, bahwa HP baru ini untuk sesuatu yang
PRODUKTIF.

Maka mulailah saya mencari nama toko online saya. Masalah apa yang mau dijual sudah saya pilih. Semua seluk beluk olshop betul-betul NOL. Dan
dengan sangat lugu saya akhirnya menyeburkan diri. Instagram menjadi medan tempur yang saya pilih. Nyatanya, apa yang dulu saya pikir “mudah”, terasa
berbeda saat saya terjun langsung. Pada mulanya saya sempat down, sering upload barang, tapi gak ada yang minat. Sepi pembeli. Merasa percuma, bulan
pertama saya sempat vakum. Saya seperti lupa, bahwa tujuan saya melepas shakira dan menggamit xiaomi adalah agar saya bisa melakukaan hal
produktif. Biar tidak sia-sia gitu. Tapi kadung saya mutung, semua tak saya gubris.

Entah, mungkin saya dapat hidayah. Jelang bulan kedua, saya merasa harus bangkit. Saya sempat berkata kepada diri saya sendiri, bahwa tidak ada
sesuatu yang instan. Dalam bisnis, itu juga berlaku. Semua orang yang saat ini sukses berjualan online, juga punya masa-masa awaal yang berat. Maka,
bagaimana mungkin saya bisa berhenti berjalan. Dan meniup api tekad hingga padam. Saya bangun dari mati suri. Saya kokohkan lagi niatan dan tekad.
Usaha saya mulai membuahkan hasil, medio akhir bulan pertama, pecah telor. Saya dapat orderan. Meski itu dari kenalan. Tidak masalah. Saya sudah
sangat senang, bangga , jualan saya diminati juga. Hiks…itu episode yang cukup memorable.

Bulan kedua, saya berusaha untuk telaten. Sambil terus mendidik mindset saya, bahwa saya tidak boleh fokus pada hasil, untung, dan hal-hal lain yang jadi
racun bagi pemula macam saya. Sekeras mungkin saya berusaha memberikan yang terbaik dari ikhtiar saya, dan meletakkan Allah di setiap langkah.
bahwa rezeki itu bukan soal saya hebat dalam bidang marketing, atau bisa memasarkan produk dengan kreatif, dan apalah-apalah, sehingga laris manis
jualannya. Saya berusaha menyematkan, bahwa semua atas izin Allah. Saya berusaha, HARUS, tapi saya tidak boleh MENDIKTE takdir. Satu hal yang saya
yakini adalah, bahwa HASIL tidak akan mengkhianati USAHA. Maka, apa yang diberikan Allah, pastilah buah dari usaha terbaik.

Saya jadi paham, bisnis atau usaha itu tidak melulu soal untung-rugi, laku-laris, dan sebagainya. Ia juga sarana menempa mental dan mendidik jiwa. Meski
tidak ada guru yang mengajarkan, pengalaman dan waktu ternyata banyak memberikan hikmah dan pengajaran.

My Dear pembaca, masuk bulan kedua, saya bisa merasakan bahwa apa yang saya geluti memiliki perkembangan. Saya merasa tidak lagi jalan di tempat.
Allah benar-benar menunjukkan, semua hal butuh PROSES. Dengan izin Allah, orderan di bulan ke dua lebih ramai dari bulan pertama. Pun saat masuk
bulan ketiga, orderan makin berkembang dari bulan kedua. Hati ini rasanya bersyukur, juga gembira tiada tara, karena dapat melewati sesuatu dengan
proses. Di sanalah ilmu tentang hidup bisa dikecap. Dan tentunya, makin membuat diri dewasa dalam menghadapi beragam hal.

Sekarang, terhitung bulan ketiga–jelang bulan keempat saya menggeluti bisnis online, saya merasa harus terus belajar, juga berbenah. Saya juga harus
menikmati setiap jengkal saya melangkah. Karena bila yang dilakukan adalah sebuah kecintaan, insya Allah memberikan kepuasan dan kelanggengan.
Saya juga harus selalu meluruskan orientasi dalam berdagang. Melibatkan Allah, mengikuti tata aturan syariat, agar apa yang didapat berkah.

Semoga apa yang saya tulis bukan merupakan keangkuhan ya. Kali aja ada yang bilang, halah, jualan baru 3 bulan udah songong nulis panjang lebar
seputar dunia bisnis online. Kan di awal sudah saya katakan, ini cuma cerita. Namanya cerita, ya suka-suka orang kan. Kalau ada kebaikan, moga bisa
diambil. Mungkin ini tulisan medio 3 bulan saya menggeluti jualan online, nanti mungkin ada postingan medio setahun, dua tahun, tiga tahun saya
berjualan online, ha ha ha, jadi lebay gini malahan.

BTW, saya jualan baju. Ada koleksi aneka batik, hijab juga. Lagi butuh baju batik atau hijab, pesen di saya ya. ha ha ha.

Koleksi bisa dilihat di instagram atau facebook. Apa? Nama toko online saya? baiklah, namanya “luhlaza shop”

Iya, luhlaza. Kenapa? Oh, aneh. Iya, itu bahasa Afrika kalau tidak salah.

Artinya? mau tau aja atau mau tau banget? iya deh, luhlaza itu artinya hijau.

Kok hijau? filosofinya begini, kalian pernah lihat lampu hijau kan saat di jala raya.

Orang itu umumnya suka dengan lampu hijau, nah harapannya juga banyak orang yang suka belanja di luhlaza

Selain itu, lampu hijau yang berarti “jalan terus” menjadi doa, agar toko online ini eksis, bisa jalan terus, dan punya banyak pelanggan…amiiin 😀

Seroja dan Kejora

Seroja terhuyung, lalu jatuh di hamparan karpet merah nan wangi. Sebelum akhirnya ia bermimpi. Ia telah melihat dengan seksama, sinar putih melesat cepat. Dari langit yang penuh mendung. Sinar itu seperti membawa kabar. Membuat hati di penuhi pertanyaan. Menyibak tirai misteri malam. Mengumamkan kata hati tak kesampaian.

Seroja hanyut. Di balik mata yang terpejam itu. Ia tengah menikmati sebuah percakapan. Sudah lama sekali, ia mengharap percakapan itu tak lagi angan-angan. Percakapan dengan seorang lelaki tampan hati. Kejora.

“Kau sedang tidak bermimpi,” Kejora merekahkan sekuntum senyumnya.

Seroja meraba raba wajahnya. Berharap memang bukan mimpi. Seroja lalu bangkit. Tubuhnya terasa ringan. Debu debu yang menempel di tiap helai gaunnya, tak ia bersihkan. Seroja ingin segera bersitatap dengan Kejora.

“Tapi tadi kata kata Romo telah menjadi petir yang menerkamku,” Seroja ingat betul, sedetik sebelum ia lebur, lalu terhuyung. Romo, sang ayah yang ucapannya tak dapat dibantah, menyatakan bahwa ia harus segera menikah dengan Kinan.

Kenyataan itu adalah sayatan pedang yang mengoyak pelepah cintanya. Perih. Bagaimanapun, Kinan adalah lelaki berdarah biru, yang tak jauh beda dengan kumbang. Ia banyak menebar pesona demi mendapat perhatian, pujian, dan kekaguman. Terlebih semua hanya untuk unjuk kehebatan. Angkuh.

Seroja sendiri sudah terlalu menyelami Kinan. Sejak kecil, ia teman bermain yang kerap membuat Seroja menangis. Usil, menang sendiri, dan pemaksa! Sifat terakhir itulah, rupanya warisan dari ayahnya, mantan Prabu Mulya, yang belakangan diketahui Seroja, memaksa ayahnya agar berkenan menikahkan Seroja dengan Kinan.

Ayah Kinan dan Seroja memang sahabat karib. Mereka telah merencanakan berbagai hal, terutama menikahkan anak anak mereka. Itupun dengan syarat, bila kedua anak mereka  benar benar terjaga. Artinya, tak ada satupun yang menyalahi titah kesepakatan menuju pelaminan agung di hari depan. Itu tak lain menjadi pengikat, bahwa tak berhak membuka hati untuk lain orang.

Seroja sendiri tahu hal itu ketika usianya menginjak gadis. Romo selalu mewanti, tak boleh banyak berhubungan dengan lelaki. Romo bilang, sudah ada lelaki yang siap menjadi pasangan sehidup semati. Pantang hukumnya menyalahi, bila tak ingin lebur harkat nama dan diri.

Saat itu, Seroja tak membayangkan bahwa disebalik semua itu ada nama Kinan. Sejak remaja, Kinan  memang tak lagi sedekat masa lecil dulu. Kinan bahkan jarang nampak. Ia seperti tengah mengembara. Namun benarlah itu semua. Rupanya Kinan berbilang masa sedang menempuh pendidikan keperwiraan.

Dan baru beberapa minggu ini ia pulang. Pulang dengan jejak kaki yang angkuh. Pulang dengan dada yang makin membusung. Disertai air muka pahit, sempurna pula lambang kegagahannya itu. Kinan pun mendadak panglima perang yang membuat hati para gadis berdebam. Kencang. Serasa kagum Zulaikha pada nabi tampan bernama Yusuf.

Bila disuruh jujur, Seroja juga akui semua kelebihan lelaki itu. Kinan adalah pesona pagi dimana mata semalam telah manja dengan mimpi. Kinan juga kicau beburung, saat telinga jadi tuli dipenuhi nyanyian jangkrik di sebalik ilalang liar.

Meskipun, mata hati Seroja tetap menilai Kinan dengan tinta merah. Apa yang sesungguhnya tersimpan di hatinya, nampak betul dalam setiap gerak dan kata katanya. Kinan jauh dari pangeran berwajah lembut, yang kepalanya menunduk seolah bercengkrama dengan bumi. Yang kata katanya adalah gemercik air bambu, dan sikapnya angin malam yang mensifonikan ilalang ilalang.

“Aku tak melihatnya sebagai lelaki terbaik, Romo. Ia bahkan cuma berharap banyak gadis jatuh hati padanya. Pesonanya itu cuma bisa seekor ular di tengah sabana. Menikam siapa saja serangga cantik yang melintas disana,”

Seroja tak diam. Ia merasa harus melawan. Ia tak ingin masa depannya dilukis tangan tangan orang lain, hatta Romo atau Nyai. Baginya, setiap jiwa berhak memilih, menentukan apa yang terbaik dalam mata batinnya. Bila hal itu dikata durhaka anak kepada orang tua, ia bisa bilang apa yang mereka lakukan pun adalah kekejian orang tua pada anaknya.

Bukankah manusia sama sama perlu penyikapan seimbang? Tak peduli itu sesiapa pun. Bahkan di mata Tuhan, tingkat tingkat itu tak jadi ukur.

“Romo,,” telah berkali Seroja yakinkan.

“Atau aku tak sudi menganggap kau anakku lagi!”

Kata kata itulah, yang selalu diledakkan Romo. Hingga sendi sendi jiwanya rapuh. Luluh. Tak kan habis air mata pun, ia terus berdengung. Memantul. Menggoyah layar hatinya agar mahu tunduk. Memberi ruang pada badai, melintas menusuk nusuk helai hatinya, yang berkecamuk.

Seroja tak pernah tahu, sebegitu jauh ayahnya mengeram janji. Janji yang tak difahami sebagai rantai besi, melilit raga higga tak lagi menikmati setiap jengkal bumi. Di lain sisi, rupanya ada sebab lain, berkenaan hutang budi ayah Seroja kepada Raden Pati, ayah Kinan, yang telah berbagi tanah kekuasaan, meski tanpa disadari itu jadi harga mati, perjodohan Seroja dengan Kinan.

***

Seroja tak pernah mencintai Kinan. Setitik pasir pun. Hari harinya begitu resah. Dilalui dengan bayang bayang kelam. Seroja tak punya daya untuk lari dari lingkaran ini. Kakinya telah lumpuh. Air mata mendanau. Ia mencari cari pohon teduh. Lalu disebuah persinggahan, ia mendapatinya.

Ia, Kejora. Lelaki rendah hati. Senyumnya tulus dengan sederet gigi putih rapi. Mulanya, tak ada pintu hatinya yang terbuka. Seroja hanya ingin dukanya bisa lebih ringan. Sehingga hidupnya bisa sedikit lebih menyenangkan.

Namun, siapa kira justru dari situlah. Pelangi cinta itu muncul. Menemukan Kejora, seperti memanggil hujan ditengah terik siang. Hingga pelangi mau tersenyum, memanjakan mata menatap kubah langit tergores warna.

“Sepertinya kita tak cuma sepasang sahabat dekat,” Seroja memecah kebisuan saat itu. Di sebuah ladang sepi, saat mereka menyepi untuk saling berbagi beban hati.

“Mungkinkah kita lebih dari sahabat? “

“Sangat mungkin. Seperti mungkinnya matahari yang menyapa pagi.”

“Bila aku bilang mustahil, apakah engkau akan tetap menganggapku sahabat, apakah engkau masih mau meluahkan segala cerita hidup?”

Seroja tak lantas muram. Kekaguman dan simpatinya malah memekar. Kerendahan hati Kejora menjadi sihir. Mengaburkan matanya yang semula lebam sebab sering menangis. Ingin segera ia lafadzkan kata itu. Sebuah pengakuan. Dalam.

“Aku mencintaimu,” Seroja setengah berbisik.

Hening sesaat. Angin meliuk liuk, membelai tubuh mereka.

Kejora tak pernah menjawab. Pun hingga kesekian kali Seroja mengucapkannya, disela sela kebersamaan terlarang yang luput dari mata Romo maupun Kinan itu.

Seroja percaya, bahwa diamnya Kejora adalah lantun doa yang lelaki itu luahkan dalam hati. Ia tahu, Kejora kadang terlalu merendah, bila sedang di sisinya. Meski tanpa pernah ia katakan, Seroja dapat menerima pesan pesan setiap tingkahnya.

‘Aku tak pernah berfikir tahta kita beda,”

“Kau menuduhku hanyut dalam tahta kita yang berbeda?”

“Bukan, aku hanya ingin kau bebaskan hatimu, Kejora. Aku ingin meyakinkanmu, bahwa kita pasti bisa bersatu.”

“Begitukah tujuan persahabatan kita,”

“Jangan kau ulang lagi kata itu. Kita tak lagi sepasang sahabat, Kejora.”

Hanya saja, Seroja tak pernah mengerti. Terlalu sulit bagi Kejora, menerima cinta gadis yang telah diikatkan cintanya pada selain dirinya. Meskipun, hatinya sudah lebih dulu jatuh, jauh sebelum Seroja menyatakan perasaannya.

***

Hubungan itu terendus. Romo begitu murka. Hubungan Seroja dengan lelaki miskin macam Kejora tentu menjadi ancaman. Romo tak mungkin membiarkan terus berlanjut. Dia telah bersumpah, tak akan mengkhianati janji sepakatnya kepada Raden Pati, sahabat yang telah lama melalui hidup dalam kebersamaan yang istimewa.

“Kau jangan menjadi penyebab persaudaraan Romo dengan Raden Pati kandas!!!”

Seroja menelan ludah dalam dalam. Pahit. Kini dimatanya, Romo tak ubah penggila harta yang rakus dengan keberlimpahan. Romo seperti hanya ingin meraup apa yang dimiliki Raden Pati. Di mana Raden Pati menjadikan peluang itu, untuk memaksa Romo menyerahkan dirinya untuk calon perwira tengik macam Kinan.

“Kinan bukan lelaki terbaik, Romo! Bukankah aku berhak mendapat lelaki yang baik darimu?”

“Kau pikir Kejora lelaki terbaik? Lihat saja ayahnya, adalah mantan narapidana kerajaan. Dia tak akan jauh beda dengan ayahnya,”

Romo tak pernah tahu, Ayah Kejora masuk bui hanya karena fitnah. Ia diisukan ikut kelompok pemberontak yang berencana mengkudeta kerajaan. Dari dulu ayah Kejora memang dikenal tegas menyuarakan kebenaran. Itu yang menyebabkan petinggi kerajaan berang, lalu suka membuat makar, merekayasa peristiwa untuk melibas gerakannya.

“Apa kamu sudah sinting, membanding bandingkan Kinan dengan Kejora,”

Tanpa dibandingkan pun, Seroja telah jauh menyimpulkan. Tak kan ada cinta untuk Kinan. Dia lelaki penggoda banyak wanita. Topengnya adalah jebakan. Kata kata manisnya tak ubah busa tanpa makna yang hakiki. Semua hanya ilusi. Bahkan petinggi petinggi yang sudah sepuh, tak terlalu mengerti keadaan di masyarakat sekitar.

“Kamu jangan berdusta, Seroja!!”

Bentakan itu menyingkirkan pengakun Seroja tentang keadaan Kinan yang sebenarnya. Entah, Seroja kehabisan cara untuk membuktikan semua itu. Ia tahu hati ayahnya telah tertutup. Sebelum mata kepalanya menyaksikan sendiri, tak ada harapan untuk membuatnya yakin tentang kebusukan Kinan.

Berhitung hari pun kini tanpa Kejora. Seroja tengah dipenjarakan oleh ambisi orang tuanya. Rumah mewahnya tak ubah ruang kematian, hanya menyisakan kepiluan dan sedikit cahaya. Seroja hanya berharap, mimpi mimpinya menjadi jembatan pertemuan dengan Kejora.

Meski hampir putus asa, Seroja terus mengumpulkan kekuatan. Ia tahu, membuka hati Kejora untuknya, tak lain halnya dengan melepas ikatan Kinan dari hidupnya. Semua sulit. Berat. Dan penuh pengorbanan.

“Kau kini tahu, aku tak pernah memandang tahta antara kita. Karena bagiku semua manusia sama. Aku hanya merasa tak mau mencintai orang yang sudah diikatkan cintanya dengan yang lain,”

“Tapi aku tidak mencintainya, Kejora. Dengar! Aku tidak mencintainya! Tidak pernah! Sampai kapanpun,”

“Meski begitu kenyatannya. Meski aku juga ingin memilikimu. Namun aku tetap akan setia dengan janji kita di awal,”

“Persahabatan itu hanya angin lalu. Percayalah!!! Kita bisa melangkah sebagai seorang kekasih. Melawan segala kenyataan pahit. Apapun itu yang akan terjadi,”

Kesungguhan seroja itu, perlahan membuka sedikit hati Kejora. Sedikit. Ya, hanya sedikit.

***

Waktu telah ditentukan. Menambah sayatan yang menggores di hatinya. Seroja seperti di hadapkan pada kiamat maha dahsyat. Memporak porandakan segenap hidupnya. Saat saat seperti ini, ia amat butuh Kejora. Lelaki yang mulai bisa membuka hatinya itu, cukup menjadi penerangnya saat tersekat dalam gelap.

Mimpi. Ya, hanya lewat mimpi. Begitulah, hingga Seroja selalu menanti malam tiba. Itu pertanda pertemuan dengan kejora akan terlaksana. Dari malam ke malam. Ia melihat Kejora semakin hangat. Semakin terbuka. Semakin mengobati segala lukanya. Meski satu pintanya belum pula tercapai. Pinta agar mimpi itu alam nyata diluar lelapnya kedua mata.

“Bawa aku pergi sebelum hari itu, Kejora.”

“Tapi ini masih didunia mimpi, dunia nyata masih jauh disana, masih berbulan bulan jika kita mau melewatinya,”

“Aku tak peduli,”

“Baiklah, kekasihku,”

“Kau tak salah mengucap itu? Apa di alam nyata nanti kau juga akan mengatakan padaku, Kejora?”

“Tentu,”

Seroja menangis haru. Tangan Kejora yang dipenuhi cahaya itu mengusapnya.

Saat terbangun, selalu saja Seroja menemukan bekas tangis di pipinya. Walau begitu, hatinya lebih merasa tenang. Bayangan hari pernikahan itu tak lagi menakutkan. Karena seperti yang dikatakan Kejora, Ia telah berjanji membawanya pergi. Entah kemana, mungkin ke sebuah tempat terindah. Yang tak dapat dilukis manusia.

Mendekati hari menyedihkan itu, Seroja makin melayu. Ia menjadi redup bila ia cahaya. Ia menjadi gerhana bila ia purnama. Dan ia menjadi topan bila ia angin pantai. Semua itu makin menenggelamkannya dalam samudera luka, tatkala kerinduannya bertemu Kejora di alam nyata terus menggoda batinnya.

“Aku rindu, kau. Sudah berminggu minggu kita tak jumpa,”

Bulan malam ini purnama. Manusia sama bersuka cita, berhambur di pelataran rumah, bercengkrama dan bercanda. Nyala api dari kayu hutan menambah ceria. Sementara di salah satu istana mewah, ratusan orang tengah sibuk mempersiapkan perhelatan akbar esok hari.

Tenda tenda didirikan, karpet merah dihamparkan. Pita pita menjulur dan melintang. Balon balon lucu aneka warna bergelantung di sela lampu gantung bercorak emas. Aneka kembang pun di rangkai sedemikian rupa, disematkan pada dinding dinding berukir. Sempurna.

Di dalam kamarnya, Seroja sudah terpejam. Tak ia nikmati malam purnama ini. Wajahnya yang ayu pias, memucat sudah lebih sebulan lamanya. Sekilas tubuhnya makin kurus. Matanya yang bening itu pun, telah redup seperti senja di ufuk khatulistiwa.

Di sebuah tempat, di alam mimpi, lagi lagi Seroja bertemu Kejora.

“Bawa aku pergi sekarang, Kejora!”

“Iya, aku tahu, besok adalah perhelatan itu,”

“Bawa aku lari sejauh jauhnya, menuju ke dunia nyata,”

“Tak perlu kita sampai ke negeri nyata, Seroja. Karena aku telah menemukan arah ke sebuah tempat yang indah, lebih indah dari negeri nyata,”

Kejora menggamit tangan Seroja. Sekejap saja mereka sudah melesat terbang ke udara. Menembus lorong cahaya berlian. Membawa cinta yang berhasil mereka selamatkan.

***

Pagi itu lukisan suram tergores. Meski malamnya purnama seolah isyarat kemegahan mimpi membalut cinta dua hati. Siapa kira malam purnama itu, justru menjadi malam terakhir gadis ayu yang akan bersanding dengan calon perwira. Tak ada lagi nafas yang terhela. Tak ada lagi nyawa yang terkandung dalam raga. Semua terjadi tiba tiba. Tanpa sebab, tanpa tanda tanda.

Kecuali alam yang telah bersaksi, bahwa telah ada dua manusia yang mati.

Seroja rupanya telah menyusul Kejora, dimana sehari sebelumnya ia mati dibunuh pasukan kerajaan.

~Selesai~

Kademangan, 16 Juni 2012/9/40 PM

Review Album Aluna “Balada Mimpi”

Cover Aluna
FP Aluna

Nama Aluna mungkin belum tenar di jagat musik Indonesia, tapi mereka punya bakat untuk dikenal banyak khalayak. Terdiri dari lima remaja putri. Sebut saja Muthi’ah, Hafsha, Hilya, Suci, Fajriya, semuanya alumni Asy-Syifa Boarding School Subang, tempat di mana grup vokal ini terbentuk. Dan pada kesempatan ini, saya yang merasa sudah lama tidak ngobrolin musik positif, akan mereview debut album mereka bertajuk “Balada Mimpi”

Pertama mendengar nama Aluna, saat melihat postingan di FP Musik Positif, di mana Aluna tengah berkunjung ke salah satu label rekaman nasional, Alfa Records, label dimana Virza juga bernanung di sana. Saat itu, saya buru-buru lari ke portal Musik Positif, dan menemukan akun Aluna. Cuma ada dua lagu Aluna, itupun cuma snippet lagu Aluna di album mereka “Balada Mimpi”. Dua track itu saya simak, dan memang belum “kawin” dengan telinga saya. Saya memang bukan penikmat grup vokal perempuan, bagi saya, grup vokal perempuan jarang yang punya karakter, seolah-olah lagu yang dinyanyikan grup vokal perempuan itu “sama” semua, berbeda dengan penyanyi solo, bisa dipastikan memiliki ciri khas sendiri.

11036036_1035245149833823_2353405622591980005_n
FP Aluna

Saya lalu berpikir, apa yang membuat pihak Alfa Record mengundang Aluna ke kantor mereka? Saya simak sobekan lagu Aluna dan tidak punya kesan wow. Berbicara musik memang bicara selera, tapi saya tetap saja belum memahami “maunya” Alfa Record. Yang membuat mereka melirik Aluna apa? Kepo saya sudah pasti tidak dapat dijawab, masa iya saya kontak Bang Ade Alfian–bos Alfa Record–lalu meminta beliau menyembuhkan kepo saya tentang Aluna. Saya akhirnya melepas sejenak kesan pertama saya tentang Aluna. Lalu mencoba mengakrabkan diri. Untuk bisa mengenal, bukankah tidak cukup satu waktu untuk kemudian mengeksekusi. Maka saya simak lagi snippet “Balada Mimpi” dan “Untuk Sahabat”. tidak cukup satu dua tiga kali. Saya banyak menyimak lagu mereka via Soundcloud, karena jujur, portal musikpositif.com sering hang, lama kalau mau play lagu. Dari proses pengakraban itu, saya mulai bisa menilai Aluna dengan utuh. Tidak cukup menyimak snippet, saya juga browsing segala hal berkaitan dengan Aluna, saya aduk-aduk fanpagenya, saya follow instagramnya, dan mulai dari situ, saya dibuat jatuh cinta. Satu kata yang bisa saya gambarkan tentang Aluna adalah BERBEDA.

BERBEDA karena Aluna ternyata punya sesuatu yang jarang saya temui pada grup vokal perempuan. Karakter. Aluna punya karakter khas. Bagi orang yang punya intensifitas terhadap musik, karakter Aluna bisa terbaca jelas. Mau nyanyi lagi siapapun, tetap berasa Aluna. Muthi yang menjadi lead vokal Aluna memiliki warna vokal yang kuat. Sementara backing vokal dari anggota lain sangat membantu menambah bobot lagu yang Muthi lahap. Selain vokal dan karakter, Aluna berbeda dalam penampilan. Gaya berhijab mereka simpel, tidak seribet salah satu grup vokal perempuan yang nebeng di salah satu album musik positif salah satu grup legendaris. Mungkin banyak yang berpikir, dunia musik tidak sebatas suara, tapi juga performa, dan dengan dalih performa, kadang malah terjerumus pada mode yang berlebihan. Tapi nampaknya Aluna tidak mau banyak menghabiskan waktu untuk urusan penampilan. Dalam beberapa video dan foto mereka saat live, Aluna tetap tampil bersahaja. Saya pikir itu nilai Aluna yang justru membuat orang mudah suka dengan keberadaan mereka. Down to earth. Saya berharap Aluna bisa bertahan dengan “kepolosan” mereka, sebagai grup vokal musik positif, tentu tidak perlu merombak style yang sudah ada. Saya percaya, bagi musisi musik positif, karya adalah segalanya, dan semua yang menjadi faktor pendukung tidak perlu dijadikan prioritas terunggul. Saya jujur sedih saat mendapati grup musik positif terkena sindrom penampilan. Pakaian yang dikenakan kadang berlebihan, khususnya bagi grup musik wanita, mau tampil nyanyi seperti mau tampil di fashion show.

FP Aluna
FP Aluna

Nilai BEDA lainnya ada pada komposisi lagu Aluna. Memang, di debut album mereka, Aluna baru merilis dua lagu. Namun, dua lagu itu sudah bisa menyuarakan kualitas musik mereka. Seolah tidak mau terjebak pada mainstream musik positif, lagu Aluna memiliki tema dan lirik sederhana namun tidak biasa. Track “Balada Mimpi” berbicara tentang mimpi anak negeri dan tekad perubahan, sekilas memang seperti lagu mars kebangsaan, tapi mendalami lagi bait lirik dan racikan melodinya, lagu Balada Mimpi adalah “seruan” yang menyemangati siapapun agar peduli terhadap bangsa namun dikemas sangat cathcy, easy listening, dan tidak flat. Muthi’ah sebagai komposer lagu ini, terlihat berbakat menuliskan lagu-lagu dengan gayanya sendiri, dia lihai membuat melodi yang meloncat-loncat, dan melodi semacam itu tetap bisa terkoneksi satu sama lain secara halus, alhasil lagu tidak mudah bosan didengarkan.

Track lainnya, Untuk Sahabat, juga menjadi pencapaian menakjubkan seorang Muthi’ah. Khusus lagu ini, saya jatuh hati dengan diksi yang Muthi’ah tulis, lirik Untuk Sahabat memiliki susunan kata out of box. Simak saja lirik seperti “Kau goreskan kisah remaja yang indah” atau “ku tak ingin tahu tentang semua kata pisah itu” bagi saya itu lirik simpel tapi terasa sekali “rasanya”. Tipikal lagu melankolis memang, tapi tidak lantas membuat mewek dan down. Lagu ini justru memiliki pesan positif berupa penerimaan dan ketulusan mendoakan. Melodi Untuk Sahabat cukup adiktif, seperti biasa, loncat-loncat tapi tidak kehilangan nuansa yang ingin dibangun dan disampaikan kepada pendengar. Lagu Untuk Sahabat membuktikan bahwa Aluna bisa mengemas lagu yang mudah diterima kuping, dan mampu meremas -remas emosi.

Aluna dan Pak Rony (FP Aluna)
Aluna dan Pak Rony (FP Aluna)

Selain peran komposer menciptakan lagu yang berkualitas dan berbeda, peran aransemen musik tentu tidak bisa dikesampingkan. Menyimak snippet Balada Mimpi dan Untuk Sahabat sudah membuat saya membatin, arranger musiknya tidak biasa. Eh, lama kelamaan saya akhirnya tahu, adalah Pak Rony Rahmat yang meraciknya. Saya tahu nama Rony Rahmat lewat sentuhan ajaibnya pada beberapa lagu hits, sebut saja Muhasabah Cinta punya Edcoustic. Lagu lain dari grup The Fikr, Nanda, juga diaransement Pak Rony, saya amati aransement pak Rony berbeda dengan arranger lainnya karena seolah-olah Pak Rony paham “maunya” lagu. Ibarat seorang desainer busana, dia sudah bisa menerawang model baju yang dipesan dan dimaui oleh si pemesan agar saat baju itu dikenakan, ada nuansa yang dapat dirasakan oleh siapapun yang melihatnya. Pak Rony nampaknya memang tidak asing di dunia musik positif, khususnya bagi grup-grup yang berasal dari Bandung dan sekitarnya. Saya sempat berimajinasi, seandainya tahun depan ada event awards bagi pegiat musik positif–seperti yang sudah dilaksanakan beberapa bulan yang lalu–Saya berharap Pak Rony Rahmat dinobatkan sebagai arangger musik terbaik. Semoga saja ya ada panitia yang membaca tulisan ini 😀

Nah, secara keseluruhan, album Aluna yang di-launching awal tahun 2015 ini, layak untuk menjadi koleksi perpustakaan musik kalian. Meski kemasannya mini album dan cuma menyajikan 4 track (2 track lagu dan 2 track minus one) tapi kehadiran mereka di blantika musik postif patut kita apresiasi. Aluna yang berarti “Warna” memang menjanjikan warna tersendiri yang memperindah panggung kreatifitas dalam dunia karya anak muda kita. Mau tahu dan kenal lebih lanjut dengan Aluna, kalian bisa kunjungi fanspage Aluna di facebook Aluna, juga akun Instagram mereka harmoni.aluna. Jika tertarik memesan albumnya, bisa melalui WA 0857 9575 2277

Album Aluna (FP Aluna)
Album Aluna (FP Aluna)

September Ceria

September Ceria akan berpamitan, dan saya belum juga mengisi postingan bulan ini. Hfff, rasanya sangat bersalah. Saya mengakui, belum sepenuhnya bisa mengasuh rumah ini dengan baik. Bulan-bulan terakhir, postingan baru muncul, pasti mepet saat minggu-minggu akhir. Tapi setidaknya saya bersyukur, masih bisa menggerakkaan jemari, menulis apa saja untuk mengisi. Syukur lainnya, adalah tidak ada protes dari kalian. Iya, kalian. Kalian tidak kangen tulisan-tulisan saya, tidak menanti-nanti, hiks, saya kadang bingung sendiri, sok punya sahabat pembaca, padahal yang datang ke sini, adalah yang kesasar. Tidak betul-betul berkunjung, ketok pintu, dan membawakan saya sebatang coklat berpita pink, serta sepucuk surat wangi melati. Hiks, tiba-tiba saya butuh tisu.

Saya tidak akan membeberkan kenapa-kenapa saya bisa sangat malas dan tidak disiplin juga tidak konsisten dan terkesan maksa juga buru-buru nongol di medio akhir bulan yang hendak pergi melambaikan tangan lantas menyisakan keterkejutan karena itu berarti tanggal muda akan menyapa dan rekening terisi kembali lalu tiba-tiba mesin ATM seperti kawan karib lama tak jumpa yang segera ingin ditemui sementara saya lupa bahwa saya pernah bertekad menghilangkan sifat karyawan saya karena itu bukan hal baik yang terus dipelihara jika ingin menjadi pribadi berkembang dan punya usaha sendiri alias mulai merambah ke dunia bisnis meski itu sekedar jualan online sehingga akun facebook twitter instagram semua dijadikan akun online shop seolah tidak lagi butun ajang eksis untuk narsis 

Baiklah, ini bukan postingan yang baik barangkali, dan mungkin terkesan menjadi warming up jari-jari saya menari di atas keyboard setelah jadi kram oleh sebab jarang bergaul dengan laman wordpress, hanya doa saya, semoga siapa yang datang dan bertamu, tetap bisa menghirup aroma insiprasi dan kebaikan. Siapapun kalian. Dimanapun kalian. Saya mengucapkan seribu terima kasih untuk secuil waktu yang kalian buang saat membaca postingan di rumah ini. Tak peduli kalian kapok, misuh-misuh, dan mual setelah tau macam mana sajian tulisan-tulisan saya, yah, karena memang begini adanya saya, anak manusia yang suka-suka menggores kata. Karena percaya, kata punya makna. Dan kata mengabadikan siapa kita. Tak peduli kata itu ada tanpa siapapun menemukannya. Bahkan bila cuma Tuhan yang membaca, itu justru bagian paling teristimewa.

Salam dari saya, dua hari lagi Oktober.