…Dear Bro

Dear bro…
Sudah setahun kaupamit, rasanya cepat, juga lambat. Cepat karena kurasa kau terlalu sebentar membersamai, lambat karena kadang aku masih suka menggerutu, dan bertanya-tanya kenapa kauharus pergi terlebih dulu. Bukan tidak ikhlas, cuma kesal dengan diriku sendiri yang terlalu lemah. Aku tahu seharusnya bisa melalui semua ini dengan pasrah, menyudahi kesedihan, menahan diri untuk tidak menangis lagi, dan sepenuhnya meyakini kausudah lebih dari bahagia di sana.

Kautahu, setahun lalu, saat langit sore sedang hangat-hangatnya, peristiwa itu sungguh memporak-porandakan pemahamanku tentang… senja. Kautahu aku selalu suka senja, selalu suka dengan langitnya, udaranya, semesta terbingkai begitu sempurna di kala senja. Namun kali itu, senja seperti menyeringai dan mengancamku dengan kemunginan-kemungkinan paling buruk di hidupku.

Lemas, lunglai, dunia tiba-tiba menjadi sangat kubenci saat kulihat tubuh kau diam berbalut debu dan darah di tengah kerumunan orang-orang. Ya Tuhan, aku seperti tidak ingin mempercayai bahwa itu dirimu, adik lelakiku satu-satunya, yang sedang ingin kuajak berbagi suka cita dengan berkelana. Aku menyibak kerumunan orang-orang yang tak pernah mengerti betapa saat itu hatiku hancur lebam, menyentuhmu dengan tangan gemetaran, menatapmu dengan tatapan paling hiba seumur aku punya nyawa. Dan aku kehilangan kata-kata.

Di belakang mobil pick up yang membawamu ke rumah sakit, aku terus menatap tubuhmu yang diam di bawah langit sore yang seharusnya menyenangkan. Sambil terus membisikimu. Mencoba bercengkrama denganmu, meminta kau untuk bertahan, karena sungguh… sungguh aku sudah siap dengan segala kemungkinan di hari depan jika kaumasih diberikan kesempatan. Sudah terbayang di benakku, tersemat di dadaku, janji untuk selalu merawatmu sepenuh daya upayaku. Sungguh, andai kau mengerti apa yang tengah aku pikirkan saat itu. Aku akan melakukan apapun. APAPUN ITU. Aku akan terus di sampingmu, munyuapimu makan, membetulkan selimutmu, tertidur di samping ranjangmu, mendorongmu di kursi roda, menatih kau berjalan, menemanimu tanpa letih hingga kelak kaupulih.

Maka, aku terus dan terus meminta, meski itu tak pernah menjadi suara yang bisa kauraba.

“Ayolah, kaubisa bertahan! Kumohon… mohon… ”

Senja yang kupikir indah, mengantarku pada malam akhir pekan yang gelisah. Di tempat yang sangat sulit terbayangkan akan menghabiskan jam demi jam menunggu kepastian. Detik-detik yang melambat dari normal. Wajah-wajah handai taulan dan kerabat yang penuh kecemasan. Nafas-nafas tertahan. Gemuruh doa dari setiap yang datang. Seperti sebuah pagelaran yang tak pernah ingin kusaksikan, namun nyatanya, aku malah disuruh menjadi pelakon, pemeran.

Dear bro…
Bujukan-bujukanku yang mencoba menyuntikkan semangatmu, janji-janjiku untuk menyalakan asamu, semua harapan, bahkan doa-doa yang terus kudaraskan. Semua sia-sia saja seperti debu berhamburan. Karena pada akhirnya kau memilih untuk menyerah dalam pertarungan itu. Kau memilih untuk mengangkat kedua tanganmu. Meminta selesai. Tak apa, Bro. Sungguh, tak apa. Aku mengerti itu pertarungan yang tak mudah. Aku bisa memahaminya, meski bukan hal mudah untuk dapat menerimanya.

Malam akhir pekan itu, usai berjam-jam aku di sampingmu, setelah kumenepi, mengumpulkan semua kekuatan, menyingkirkan ketakutan dan kekalutan. Suara itu sampai di telingaku. Kau telah Dia jemput… pulang.

Oh, betapa secepat itu. Aku tergugu, sedu sedan menangis dengan suara yang sangat mengganggu. Kabur kedua mataku melihat orang-orang bergegas merangkulku. Tak pernah kurasakan sesak di dada seperti sesaknya saat itu. Bibirku beristighfar, meminta dikuatkan.

Detik melambat, udara begitu suram.

Aku bergegas menghampirimu, menyingkap selimut yang menutup sekujur tubuhmu. Menenggelamkan wajahmu yang diam di sela pundakku. Berkali-kali mengecup keningmu, pipimu. Tak ada lagi tangis, entah darimana asalnya, tiba-tiba kurasakan hatiku lapang, tak ada sela yang sebelumnya menyesakkan dada. Kuberbisik di telingamu. Mengucapkan selamat jalan.

Sudah setahun kaupamit, hari ini, seluruh kenangan-kenangan berloncatan di kepalaku. Masa-masa dahulu, menyala lagi di benakku. Kautahu, aku perlahan-lahan sudah belajar melupakan semua rasa sakit itu. Tentu saja di tahun pertama kaupulang, aku sudah menjadi lebih baik. Aku tak lagi jadi si pemurung yang tak mengenal tawa dan senyum. Aku tak lagi menangis tiba-tiba di perempatan jalan menunggu lampu hijau, sebab terkenang kau yang kuboncengkan di awal-awal kita bekerja di tempat yang sama. Aku tak lagi kurus kering karena selera makanku mulai stabil. Aku tak lagi memikul semua luka dari peristiwa paling menyakitkan itu. Hanya saja masih ada rindu yang kadang menyesakkan. Rindu yang kadang membuatku menangis dan tersenyum dengan bersamaan.

Dear bro…
Terima kasih untuk semua kesempatan, kebersamaan, masa kecil yang tak terlupakan (di mana ketika beranjak dewasa kita tak mungkin lagi mengulangnya), semua perjalanan ke tempat-tempat spesial, semua kesabaranmu, kesederhanaanmu yang menginspirasi, dedikasimu pada keluarga, perjuanganmu di panggung dakwah, juga terima kasih untuk hangatnya sikapmu, renyahnya tawamu, dan tentu saja menakutkannya diammu (pisss) terakhir… terima kasih telah mengenalkanku rasanya patah hati, rasanya kehilangan, rasanya ditinggalkan orang tersayang, menyadarkanku pentingnya waktu dan kebersamaan, itu sungguhlah berharga, tak ada duanya!

Dear bro…
Banyak yang bersaksi kau orang yang baik. Setahun lalu, time line Facebook penuh dengan ucapan bela sungkawa dan kesan-kesan kerabatmu semasa bermuamalah bersamamu (membuatku iri, betapa kau banyak dicintai) kepulanganmu diiringi orang-orang saleh hingga ke tempat kau disemayamkan. Seorang ustadz tersedu sedan memimpin doa di takziahmu. Menyeka ujung matanya yang basah.

Satu nama boleh pergi, namun ia terus menyala di hati. Maka kujaga terus nyalanya, dengan mengabadikanmu dalam doa. Namamu senantiasa lengkap kueja, dan selalu menjadi pertama dalam pinta. Bahagia kau di sana hei si Pendiam. Terang benderang dalam cahaya-Nya. Semoga Allah mengizinkan kita berkumpul lagi, di surga-Nya. Menggantikan rencana kita melihat ciptaan-Nya di Sabtu itu, setahun lalu.

Zuhut Fathurrohim (الله يرحم) dalam kenangan 13 Juli 2019 – 13 Juli 2020

Tinggalkan komentar