Seroja dan Kejora

Seroja terhuyung, lalu jatuh di hamparan karpet merah nan wangi. Sebelum akhirnya ia bermimpi. Ia telah melihat dengan seksama, sinar putih melesat cepat. Dari langit yang penuh mendung. Sinar itu seperti membawa kabar. Membuat hati di penuhi pertanyaan. Menyibak tirai misteri malam. Mengumamkan kata hati tak kesampaian.

Seroja hanyut. Di balik mata yang terpejam itu. Ia tengah menikmati sebuah percakapan. Sudah lama sekali, ia mengharap percakapan itu tak lagi angan-angan. Percakapan dengan seorang lelaki tampan hati. Kejora.

“Kau sedang tidak bermimpi,” Kejora merekahkan sekuntum senyumnya.

Seroja meraba raba wajahnya. Berharap memang bukan mimpi. Seroja lalu bangkit. Tubuhnya terasa ringan. Debu debu yang menempel di tiap helai gaunnya, tak ia bersihkan. Seroja ingin segera bersitatap dengan Kejora.

“Tapi tadi kata kata Romo telah menjadi petir yang menerkamku,” Seroja ingat betul, sedetik sebelum ia lebur, lalu terhuyung. Romo, sang ayah yang ucapannya tak dapat dibantah, menyatakan bahwa ia harus segera menikah dengan Kinan.

Kenyataan itu adalah sayatan pedang yang mengoyak pelepah cintanya. Perih. Bagaimanapun, Kinan adalah lelaki berdarah biru, yang tak jauh beda dengan kumbang. Ia banyak menebar pesona demi mendapat perhatian, pujian, dan kekaguman. Terlebih semua hanya untuk unjuk kehebatan. Angkuh.

Seroja sendiri sudah terlalu menyelami Kinan. Sejak kecil, ia teman bermain yang kerap membuat Seroja menangis. Usil, menang sendiri, dan pemaksa! Sifat terakhir itulah, rupanya warisan dari ayahnya, mantan Prabu Mulya, yang belakangan diketahui Seroja, memaksa ayahnya agar berkenan menikahkan Seroja dengan Kinan.

Ayah Kinan dan Seroja memang sahabat karib. Mereka telah merencanakan berbagai hal, terutama menikahkan anak anak mereka. Itupun dengan syarat, bila kedua anak mereka  benar benar terjaga. Artinya, tak ada satupun yang menyalahi titah kesepakatan menuju pelaminan agung di hari depan. Itu tak lain menjadi pengikat, bahwa tak berhak membuka hati untuk lain orang.

Seroja sendiri tahu hal itu ketika usianya menginjak gadis. Romo selalu mewanti, tak boleh banyak berhubungan dengan lelaki. Romo bilang, sudah ada lelaki yang siap menjadi pasangan sehidup semati. Pantang hukumnya menyalahi, bila tak ingin lebur harkat nama dan diri.

Saat itu, Seroja tak membayangkan bahwa disebalik semua itu ada nama Kinan. Sejak remaja, Kinan  memang tak lagi sedekat masa lecil dulu. Kinan bahkan jarang nampak. Ia seperti tengah mengembara. Namun benarlah itu semua. Rupanya Kinan berbilang masa sedang menempuh pendidikan keperwiraan.

Dan baru beberapa minggu ini ia pulang. Pulang dengan jejak kaki yang angkuh. Pulang dengan dada yang makin membusung. Disertai air muka pahit, sempurna pula lambang kegagahannya itu. Kinan pun mendadak panglima perang yang membuat hati para gadis berdebam. Kencang. Serasa kagum Zulaikha pada nabi tampan bernama Yusuf.

Bila disuruh jujur, Seroja juga akui semua kelebihan lelaki itu. Kinan adalah pesona pagi dimana mata semalam telah manja dengan mimpi. Kinan juga kicau beburung, saat telinga jadi tuli dipenuhi nyanyian jangkrik di sebalik ilalang liar.

Meskipun, mata hati Seroja tetap menilai Kinan dengan tinta merah. Apa yang sesungguhnya tersimpan di hatinya, nampak betul dalam setiap gerak dan kata katanya. Kinan jauh dari pangeran berwajah lembut, yang kepalanya menunduk seolah bercengkrama dengan bumi. Yang kata katanya adalah gemercik air bambu, dan sikapnya angin malam yang mensifonikan ilalang ilalang.

“Aku tak melihatnya sebagai lelaki terbaik, Romo. Ia bahkan cuma berharap banyak gadis jatuh hati padanya. Pesonanya itu cuma bisa seekor ular di tengah sabana. Menikam siapa saja serangga cantik yang melintas disana,”

Seroja tak diam. Ia merasa harus melawan. Ia tak ingin masa depannya dilukis tangan tangan orang lain, hatta Romo atau Nyai. Baginya, setiap jiwa berhak memilih, menentukan apa yang terbaik dalam mata batinnya. Bila hal itu dikata durhaka anak kepada orang tua, ia bisa bilang apa yang mereka lakukan pun adalah kekejian orang tua pada anaknya.

Bukankah manusia sama sama perlu penyikapan seimbang? Tak peduli itu sesiapa pun. Bahkan di mata Tuhan, tingkat tingkat itu tak jadi ukur.

“Romo,,” telah berkali Seroja yakinkan.

“Atau aku tak sudi menganggap kau anakku lagi!”

Kata kata itulah, yang selalu diledakkan Romo. Hingga sendi sendi jiwanya rapuh. Luluh. Tak kan habis air mata pun, ia terus berdengung. Memantul. Menggoyah layar hatinya agar mahu tunduk. Memberi ruang pada badai, melintas menusuk nusuk helai hatinya, yang berkecamuk.

Seroja tak pernah tahu, sebegitu jauh ayahnya mengeram janji. Janji yang tak difahami sebagai rantai besi, melilit raga higga tak lagi menikmati setiap jengkal bumi. Di lain sisi, rupanya ada sebab lain, berkenaan hutang budi ayah Seroja kepada Raden Pati, ayah Kinan, yang telah berbagi tanah kekuasaan, meski tanpa disadari itu jadi harga mati, perjodohan Seroja dengan Kinan.

***

Seroja tak pernah mencintai Kinan. Setitik pasir pun. Hari harinya begitu resah. Dilalui dengan bayang bayang kelam. Seroja tak punya daya untuk lari dari lingkaran ini. Kakinya telah lumpuh. Air mata mendanau. Ia mencari cari pohon teduh. Lalu disebuah persinggahan, ia mendapatinya.

Ia, Kejora. Lelaki rendah hati. Senyumnya tulus dengan sederet gigi putih rapi. Mulanya, tak ada pintu hatinya yang terbuka. Seroja hanya ingin dukanya bisa lebih ringan. Sehingga hidupnya bisa sedikit lebih menyenangkan.

Namun, siapa kira justru dari situlah. Pelangi cinta itu muncul. Menemukan Kejora, seperti memanggil hujan ditengah terik siang. Hingga pelangi mau tersenyum, memanjakan mata menatap kubah langit tergores warna.

“Sepertinya kita tak cuma sepasang sahabat dekat,” Seroja memecah kebisuan saat itu. Di sebuah ladang sepi, saat mereka menyepi untuk saling berbagi beban hati.

“Mungkinkah kita lebih dari sahabat? “

“Sangat mungkin. Seperti mungkinnya matahari yang menyapa pagi.”

“Bila aku bilang mustahil, apakah engkau akan tetap menganggapku sahabat, apakah engkau masih mau meluahkan segala cerita hidup?”

Seroja tak lantas muram. Kekaguman dan simpatinya malah memekar. Kerendahan hati Kejora menjadi sihir. Mengaburkan matanya yang semula lebam sebab sering menangis. Ingin segera ia lafadzkan kata itu. Sebuah pengakuan. Dalam.

“Aku mencintaimu,” Seroja setengah berbisik.

Hening sesaat. Angin meliuk liuk, membelai tubuh mereka.

Kejora tak pernah menjawab. Pun hingga kesekian kali Seroja mengucapkannya, disela sela kebersamaan terlarang yang luput dari mata Romo maupun Kinan itu.

Seroja percaya, bahwa diamnya Kejora adalah lantun doa yang lelaki itu luahkan dalam hati. Ia tahu, Kejora kadang terlalu merendah, bila sedang di sisinya. Meski tanpa pernah ia katakan, Seroja dapat menerima pesan pesan setiap tingkahnya.

‘Aku tak pernah berfikir tahta kita beda,”

“Kau menuduhku hanyut dalam tahta kita yang berbeda?”

“Bukan, aku hanya ingin kau bebaskan hatimu, Kejora. Aku ingin meyakinkanmu, bahwa kita pasti bisa bersatu.”

“Begitukah tujuan persahabatan kita,”

“Jangan kau ulang lagi kata itu. Kita tak lagi sepasang sahabat, Kejora.”

Hanya saja, Seroja tak pernah mengerti. Terlalu sulit bagi Kejora, menerima cinta gadis yang telah diikatkan cintanya pada selain dirinya. Meskipun, hatinya sudah lebih dulu jatuh, jauh sebelum Seroja menyatakan perasaannya.

***

Hubungan itu terendus. Romo begitu murka. Hubungan Seroja dengan lelaki miskin macam Kejora tentu menjadi ancaman. Romo tak mungkin membiarkan terus berlanjut. Dia telah bersumpah, tak akan mengkhianati janji sepakatnya kepada Raden Pati, sahabat yang telah lama melalui hidup dalam kebersamaan yang istimewa.

“Kau jangan menjadi penyebab persaudaraan Romo dengan Raden Pati kandas!!!”

Seroja menelan ludah dalam dalam. Pahit. Kini dimatanya, Romo tak ubah penggila harta yang rakus dengan keberlimpahan. Romo seperti hanya ingin meraup apa yang dimiliki Raden Pati. Di mana Raden Pati menjadikan peluang itu, untuk memaksa Romo menyerahkan dirinya untuk calon perwira tengik macam Kinan.

“Kinan bukan lelaki terbaik, Romo! Bukankah aku berhak mendapat lelaki yang baik darimu?”

“Kau pikir Kejora lelaki terbaik? Lihat saja ayahnya, adalah mantan narapidana kerajaan. Dia tak akan jauh beda dengan ayahnya,”

Romo tak pernah tahu, Ayah Kejora masuk bui hanya karena fitnah. Ia diisukan ikut kelompok pemberontak yang berencana mengkudeta kerajaan. Dari dulu ayah Kejora memang dikenal tegas menyuarakan kebenaran. Itu yang menyebabkan petinggi kerajaan berang, lalu suka membuat makar, merekayasa peristiwa untuk melibas gerakannya.

“Apa kamu sudah sinting, membanding bandingkan Kinan dengan Kejora,”

Tanpa dibandingkan pun, Seroja telah jauh menyimpulkan. Tak kan ada cinta untuk Kinan. Dia lelaki penggoda banyak wanita. Topengnya adalah jebakan. Kata kata manisnya tak ubah busa tanpa makna yang hakiki. Semua hanya ilusi. Bahkan petinggi petinggi yang sudah sepuh, tak terlalu mengerti keadaan di masyarakat sekitar.

“Kamu jangan berdusta, Seroja!!”

Bentakan itu menyingkirkan pengakun Seroja tentang keadaan Kinan yang sebenarnya. Entah, Seroja kehabisan cara untuk membuktikan semua itu. Ia tahu hati ayahnya telah tertutup. Sebelum mata kepalanya menyaksikan sendiri, tak ada harapan untuk membuatnya yakin tentang kebusukan Kinan.

Berhitung hari pun kini tanpa Kejora. Seroja tengah dipenjarakan oleh ambisi orang tuanya. Rumah mewahnya tak ubah ruang kematian, hanya menyisakan kepiluan dan sedikit cahaya. Seroja hanya berharap, mimpi mimpinya menjadi jembatan pertemuan dengan Kejora.

Meski hampir putus asa, Seroja terus mengumpulkan kekuatan. Ia tahu, membuka hati Kejora untuknya, tak lain halnya dengan melepas ikatan Kinan dari hidupnya. Semua sulit. Berat. Dan penuh pengorbanan.

“Kau kini tahu, aku tak pernah memandang tahta antara kita. Karena bagiku semua manusia sama. Aku hanya merasa tak mau mencintai orang yang sudah diikatkan cintanya dengan yang lain,”

“Tapi aku tidak mencintainya, Kejora. Dengar! Aku tidak mencintainya! Tidak pernah! Sampai kapanpun,”

“Meski begitu kenyatannya. Meski aku juga ingin memilikimu. Namun aku tetap akan setia dengan janji kita di awal,”

“Persahabatan itu hanya angin lalu. Percayalah!!! Kita bisa melangkah sebagai seorang kekasih. Melawan segala kenyataan pahit. Apapun itu yang akan terjadi,”

Kesungguhan seroja itu, perlahan membuka sedikit hati Kejora. Sedikit. Ya, hanya sedikit.

***

Waktu telah ditentukan. Menambah sayatan yang menggores di hatinya. Seroja seperti di hadapkan pada kiamat maha dahsyat. Memporak porandakan segenap hidupnya. Saat saat seperti ini, ia amat butuh Kejora. Lelaki yang mulai bisa membuka hatinya itu, cukup menjadi penerangnya saat tersekat dalam gelap.

Mimpi. Ya, hanya lewat mimpi. Begitulah, hingga Seroja selalu menanti malam tiba. Itu pertanda pertemuan dengan kejora akan terlaksana. Dari malam ke malam. Ia melihat Kejora semakin hangat. Semakin terbuka. Semakin mengobati segala lukanya. Meski satu pintanya belum pula tercapai. Pinta agar mimpi itu alam nyata diluar lelapnya kedua mata.

“Bawa aku pergi sebelum hari itu, Kejora.”

“Tapi ini masih didunia mimpi, dunia nyata masih jauh disana, masih berbulan bulan jika kita mau melewatinya,”

“Aku tak peduli,”

“Baiklah, kekasihku,”

“Kau tak salah mengucap itu? Apa di alam nyata nanti kau juga akan mengatakan padaku, Kejora?”

“Tentu,”

Seroja menangis haru. Tangan Kejora yang dipenuhi cahaya itu mengusapnya.

Saat terbangun, selalu saja Seroja menemukan bekas tangis di pipinya. Walau begitu, hatinya lebih merasa tenang. Bayangan hari pernikahan itu tak lagi menakutkan. Karena seperti yang dikatakan Kejora, Ia telah berjanji membawanya pergi. Entah kemana, mungkin ke sebuah tempat terindah. Yang tak dapat dilukis manusia.

Mendekati hari menyedihkan itu, Seroja makin melayu. Ia menjadi redup bila ia cahaya. Ia menjadi gerhana bila ia purnama. Dan ia menjadi topan bila ia angin pantai. Semua itu makin menenggelamkannya dalam samudera luka, tatkala kerinduannya bertemu Kejora di alam nyata terus menggoda batinnya.

“Aku rindu, kau. Sudah berminggu minggu kita tak jumpa,”

Bulan malam ini purnama. Manusia sama bersuka cita, berhambur di pelataran rumah, bercengkrama dan bercanda. Nyala api dari kayu hutan menambah ceria. Sementara di salah satu istana mewah, ratusan orang tengah sibuk mempersiapkan perhelatan akbar esok hari.

Tenda tenda didirikan, karpet merah dihamparkan. Pita pita menjulur dan melintang. Balon balon lucu aneka warna bergelantung di sela lampu gantung bercorak emas. Aneka kembang pun di rangkai sedemikian rupa, disematkan pada dinding dinding berukir. Sempurna.

Di dalam kamarnya, Seroja sudah terpejam. Tak ia nikmati malam purnama ini. Wajahnya yang ayu pias, memucat sudah lebih sebulan lamanya. Sekilas tubuhnya makin kurus. Matanya yang bening itu pun, telah redup seperti senja di ufuk khatulistiwa.

Di sebuah tempat, di alam mimpi, lagi lagi Seroja bertemu Kejora.

“Bawa aku pergi sekarang, Kejora!”

“Iya, aku tahu, besok adalah perhelatan itu,”

“Bawa aku lari sejauh jauhnya, menuju ke dunia nyata,”

“Tak perlu kita sampai ke negeri nyata, Seroja. Karena aku telah menemukan arah ke sebuah tempat yang indah, lebih indah dari negeri nyata,”

Kejora menggamit tangan Seroja. Sekejap saja mereka sudah melesat terbang ke udara. Menembus lorong cahaya berlian. Membawa cinta yang berhasil mereka selamatkan.

***

Pagi itu lukisan suram tergores. Meski malamnya purnama seolah isyarat kemegahan mimpi membalut cinta dua hati. Siapa kira malam purnama itu, justru menjadi malam terakhir gadis ayu yang akan bersanding dengan calon perwira. Tak ada lagi nafas yang terhela. Tak ada lagi nyawa yang terkandung dalam raga. Semua terjadi tiba tiba. Tanpa sebab, tanpa tanda tanda.

Kecuali alam yang telah bersaksi, bahwa telah ada dua manusia yang mati.

Seroja rupanya telah menyusul Kejora, dimana sehari sebelumnya ia mati dibunuh pasukan kerajaan.

~Selesai~

Kademangan, 16 Juni 2012/9/40 PM

Tinggalkan komentar