Kasihanilah…

Dia terduduk di sudut ruang itu, bisu. Cahaya menelisik dari kisi-kisi, cukup menerangi. Tak terpikirkan olehnya dunia di luar sana. Hatinya sedang lebam. Dadanya dipenuhi angkara. Janji kehidupan seperti cuma dongeng, khayal, sama sekali sia-sia. Hari esok menjadi menakutkan.

Dia erat memejamkan mata. Gerakannya resah. Berkali-kali menelan ludah. Ada sesuatu yang sedang menari-nari di pikirannya. Sudah dari tadi, hampir pecah. Andai saja ia pecah—dalam arti sebenarnya, ia menduga, mungkin akan berwujud serpihan kaca, atau duri-duri, atau bahkan api.

Kabar baik, mungkin kalian tidak bisa membaca situasi itu. Tapi aku diberi kesempatan untuk mengikutinya, memahaminya, mendengar detil yang bergema di ruang rasanya.

Dia, sedang bercengkrama dengan Tuhannya.

Seolah sedang bersenandung, atau bersajak. Kata-katanya mengalir, tidak deras, tidak tenang, tidak riak. Apa adanya. Bergemericik berbisik.

“Tuhan, Kau memang baik padaku. Seluruh hidupku adalah saksinya. Tanpa kebaikanMu, aku mungkin sudah jauh dari semua pencapaianku. Bertahun-tahun, aku bisa berjalan, melihat banyak hal, menemukan banyak sesuatu. Sungguh. Itu kebaikan yang tak bisa kubayar. Dengan ucapan terima kasih sebanyak pasir, atau upaya ketaatanku (yang terlalu kecil).

Kau sungguh baik, pada siapapun. Entah manusia itu menjadi pembenciMu sekalipun, bahkan tak mengakui Engkau.

Sungguh, sekelam dan sebusuk apapun aku punya hati. Aku bilang berkali-kali, Kau begitu baik padaku. Sangat baik. Seluruh kehidupanku adalah saksinya.

Tapi Tuhan… Tapi,

Kau memang baik, sangat baik, tak perlu aku memanjat puncak penghambaan, ketaatan, kau akan selalu baik.

Tapi Tuhan… Tapi,

Aku tidak yakin Kau cinta. Aku bahkan takut bertanya-tanya, apa Kau cinta aku? Sayang aku? Cinta dan sayangMu sepertinya tidak mengenal manusia semacamku. Sepertinya tidak menyentuh bayanganku. Cinta dan sayangMu adalah mutiara. Harus pandai menyelam untuk bisa menukilnya di dasar samudra. Sementara aku, melihat air saja enggan. Apalagi menyelam.

Duhai, meski Kau baik padaku, tak pernah sempurna perjalanan panjang ini, tanpa Kau mencintaiku. Tapi bagaimanalah, aku saja yang bebal. Sudah tau cara kerja cintaMu itu berbeda, namun selalu menghindar bila dihampiri. Bodoh memang. Terlalu kekanak-kanakan. Bisa jadi satu dua kali Kau mencoba menunjukkan cintaMu—dengan caraMu, dan aku menyerah. Menggelengkan kepala. Berbalik kanan. Menjauh. Tak sudi aku berkawan dengan cara-caraMu mencintai hamba. Tak peduli aku bahwa caraMu mencintai kadang jauh sekali dari menyenangkan. Jauh sekali.

Tuhan, Kau memang baik padaku, tapi belum pasti Kau cinta, Kau sayang. Seperti aku atau manusia yang lain. Banyak yang menebar perbuatan baik pada siapapun, tak terkecuali. Tapi hanya ada beberapa yang dicintai, disayangi. Orang-orang istimewa.”

Dia menghela nafas, aku bisa merasakan hangat nafasnya. Di luar matahari hampir padam, terjungkal di ufuk barat. Ruang kecil itu redup. Habis garis-garis cahayanya. Aku tidak tahu, kenapa dia menyudahi percakapannya dengan Tuhan. Beberapa menit berlalu, hening. Sesekali suara angin menerbangkan dedaunan kering.

Tubuhnya bergerak pelan, bersiap meneruskan percakapan.

“Maka, aku tidak akan bicara, memintaMu “memberikan cinta”. Tidak, sungguh tidak punya malu bila aku berkata begitu. Apalagi banyak manusia yang mencintaiMu tapi cintanya tidak sampai. Mereka merayuMu siang malam menanti tirai cintaMu terjulur. Hanya karena jalan mereka keliru, adalah cintaMu tertahan.

Urusan ini memang misteri. Rumit. Seolah-olah manusia tidak bisa memastikan. Duhai, bisa jadi ada orang yang Kau cintai tapi dia “tidak tahu” cintamu merengkuhnya. Oh, itu sungguh menarik. Entahlah, barangkali suatu saat, aku akan bicara lagi tentang cinta ini, jika sudah pantas aku mengatakannya. Mungkin salah satunya bila aku sudah bisa mencintaMu dibanding selainMu.

Tuhan, hanya saja, saat sekarang. Aku ingin meminta padaMu. Bukan meminta kebaikanMu, sudah terhingga kebaikanMu meliputiku hingga batas waktu. Bukan cintaMu, aku masih malu melihat betapa jauh aku dari orang-orang yang selayaknya Kau cinta. Aku hanya meminta satu; belas kasihan. Kiranya itu, cukup menemani aku melangkah. Menyibak hari demi hariku. Melewati hitam dan putihku. Sungguh kasihani aku, kasihanilah. Belas kasihan yang mungkin masih pantas Kau beri padaku. Tolonglah. Kau sungguh lebih dari tahu arti “kasihan” yang aku harapkan. Kau sungguh lebih dari tahu.”

Sekali lagi—untuk yang terakhir, dia menghela nafas, panjang. Tubuhnya beranjak, perlahan. Tak ada suara pintu berderak, bahkan tak ada suara langkah. Hening begitu saja. Entah, di mana perginya. Semua berlalu begitu cepat.

Sudah, hanya sampai di situ aku bisa “mengikutinya”.

Tinggalkan komentar